Oleh Wahyudi Thamrin,SH,MH
Payakumbuh– Abu yang tersisa di Pusat Pertokoan Blok Barat bukan sekadar puing bangunan, melainkan serpihan harapan ratusan pedagang. Mereka yang kemarin berteriak riang menawarkan dagangan, kini hanya bisa berdiri di atas bara yang padam dengan dada sesak: kehilangan tempat, kehilangan barang, kehilangan mata pencaharian.
Pemerintah Kota Payakumbuh memang bergerak cepat. Titik relokasi sementara sudah diukur, garis cat berwarna sudah ditarik sebagai tanda bakal berdirinya kios-kios darurat. Namun, di balik upaya itu, muncul gelombang kegelisahan baru. Lokasi yang dipilih Jalan Sutan Usman atau kampung yang oleh warga disebut “Kampung China”. Lokasi relokasi yang menyimpan jejak sejarah panjang Kota Payakumbuh. Saat ini menimbulkan tanda tanya: akankah solusi darurat ini justru menciptakan persoalan baru?
Ketegangan mulai terasa. Korban kebakaran menuntut ruang untuk bertahan hidup, sementara pedagang yang tokonya masih berdiri khawatir rezekinya tergerus oleh kios relokasi di depan usaha mereka. Satu sisi bicara tentang bertahan hidup, sisi lain menjerit menuntut keadilan.
Diskusi-diskusi hangat menyeruak di kedai kopi sepanjang Jalan A. Yani. Kesimpulannya jelas: pasca kebakaran ini, Payakumbuh tidak hanya berhadapan dengan musibah fisik, tapi juga dengan dilema sosial.
Maka, pertanyaan besar pun lahir: Apakah pemerintah cukup hanya bergerak cepat, ataukah juga harus bijak dalam menimbang rasa keadilan? Apakah kita akan membiarkan solusi darurat memantik konflik horizontal, atau menjadikannya jalan untuk bangkit bersama?
Musibah boleh menghanguskan bangunan, tapi jangan sampai ikut menghanguskan persaudaraan. Dari abu yang tersisa, semestinya tumbuh tekad baru: bangkit lebih kuat, lebih adil, dan lebih manusiawi.