Oleh: Wahyudi Thamrin
Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar deretan angka dalam laporan tahunan. Ia adalah denyut nadi sebuah daerah, cermin kesejahteraan masyarakat, sekaligus arah perjalanan pembangunan. Di Sumatera Barat, dua wilayah bertetangga Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh menyajikan kisah pemulihan ekonomi yang bergerak dengan warna dan irama berbeda pasca terpaan pandemi.
Di tanah agraris Lima Puluh Kota, roda ekonomi berputar dengan irama yang kian mantap. Tahun 2023, pertumbuhan ekonomi menorehkan angka 4,55 persen, naik dari 4,02 persen pada tahun sebelumnya. Pulihnya sektor produktif menjadi penopang, terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyumbang lebih dari 31 persen PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).
Di balik hamparan sawah dan kebun yang subur, Lima Puluh Kota berdiri sebagai lumbung pangan, sekaligus penjaga ketersediaan komoditas unggulan. Namun, ketergantungan yang terlalu besar pada sektor primer juga menyimpan kerentanan: harga yang fluktuatif, iklim yang tak menentu, serta rapuhnya diversifikasi industri dan jasa.
Pemerintah daerah mencoba menjawab dengan strategi “Sakato”, mendorong UMKM, pariwisata, dan infrastruktur sebagai penopang baru. Namun di Ranah Minang, arah pembangunan tak hanya ditentukan oleh regulasi pemerintah. Ninik mamak, sebagai pemilik ulayat dan penjaga suku, memegang kunci keseimbangan.
Tanah ulayat bukan sekadar lahan ekonomi, tetapi warisan marwah, sumber kehidupan, dan tempat bersemainya identitas. Keputusan ninik mamak menentukan ke mana tanah diwariskan, untuk apa ia digunakan, dan bagaimana generasi muda dapat menapakkan kaki di atasnya.
Mereka adalah penentu yang menjaga agar pembangunan tidak tercerabut dari akar adat. Dengan peran ninik mamak, strategi pembangunan bukan sekadar deretan program, melainkan wujud dari filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Karena itu, sudah saatnya kepala daerah Lima Puluh Kota dan Payakumbuh duduk bersama Kerapatan Adat Nagari (KAN) serta Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Pertemuan semacam ini bukan sekadar seremonial, melainkan forum musyawarah yang menyatukan kepentingan pembangunan modern dengan kearifan adat. Pemerintah membawa visi pembangunan, sementara ninik mamak menghadirkan akar budaya dan otoritas ulayat. Jika kedua unsur ini berjalan beriringan, maka pembangunan tidak hanya cepat, tetapi juga kokoh, karena berdiri di atas legitimasi adat sekaligus kepercayaan rakyat.
Sementara itu, di Kota Payakumbuh, denyut ekonominya berlari dalam ritme perkotaan yang lebih cepat. Tahun 2023, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,70 persen, sedikit melampaui rata-rata provinsi (4,62 persen), meski masih tertinggal dari capaian nasional (5,05 persen).
PDRB per kapita warga kota ini menyentuh Rp 62,02 juta per orang per tahun, sinyal bahwa kesejahteraan ikut bergerak naik. Wajah sosial pun ikut berubah: angka kemiskinan menurun, pengangguran yang sempat melonjak perlahan menurun. Basis ekonomi kota ini bertumpu pada perdagangan, jasa, serta industri kecil, dihidupi oleh semangat wirausaha dan geliat ekonomi kreatif.
Namun tantangan tetap mengintai bagaimana memperluas daya saing, memperkuat basis produksi, dan memastikan laju kota ini tidak tersisih dari percepatan pertumbuhan nasional.
Jika ditarik benang perbandingan, Lima Puluh Kota adalah wajah alam yang subur, sedangkan Payakumbuh adalah denyut urban yang dinamis. Satu berakar pada tanah dan agraris, yang lain bertumpu pada jasa, perdagangan, dan kreativitas. Namun keduanya sama-sama tengah menapaki jalur pemulihan, mencari keseimbangan baru setelah badai pandemi.
Pertumbuhan ekonomi bukan hanya soal grafik naik atau turun. Ia adalah kisah tentang daya tahan, keberanian berinovasi, dan arah pembangunan. Masa depan kedua wilayah ini akan ditentukan oleh kemampuan untuk bertransformasi. Lima Puluh Kota perlu keluar dari ketergantungan pada sektor primer, sementara Payakumbuh harus terus menumbuhkan ekonomi kreatif, digitalisasi, dan industri bernilai tambah. Namun pada akhirnya, pembangunan di Ranah Minang tidak bisa dilepaskan dari peran ninik mamak.
Mereka adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan menjaga ulayat agar tidak tergadai, memastikan tanah tetap memberi makan, sekaligus membuka ruang agar generasi baru bisa menanam harapan di atas pusaka. Dan bila kepala daerah mampu merangkul KAN dan LKAAM dalam setiap langkah pembangunan, maka cita-cita kemajuan tidak lagi berjalan sendiri, tetapi berpadu dengan suara adat yang telah ratusan tahun menjaga Ranah Minang.
Apalagi, mumpung kedua kepala daerah masih baru, inilah momentum untuk keluar dari intervensi politik sempit yang sering menjerat kebijakan. Jangan sampai pembangunan terseret tarik-menarik kepentingan, sementara rakyat menunggu kepastian.
Birokrasi pun mesti sigap, dengan data yang akurat dan transparan, karena tanpa itu kebijakan hanya akan jadi tebakan, bukan solusi. Ingat, ini menyangkut masa depan masyarakat banyak—bukan soal pangkat, kursi, atau jabatan yang sementara.
Sebab pembangunan sejati adalah ketika kemajuan tak hanya tercatat di angka, tetapi terasa nyata di meja makan rakyat, di pendidikan anak-anak, dan di harapan masa depan setiap keluarga.