Oleh :DR. Anton Permana
engamat Geopolitik dan Pertahanan, Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Mungkin sudah saatnya sekarang kita balik bertanya kepada kelompok orang yang begitu alergi dan anti terhadap entitas militer khususnya TNI di Indonesia dalam pemerintahan. Apakah, sikap itu kecemasan natural traumatik ? ketidak tahuan inti permasalahan ? atau hal itu justru bahagian dari propaganda proxy sebuah kekuatan dan kepentingan kelompok yang merasa terancam dan mulai terganggu akan kehadiran TNI sebagai penjaga kedaulatan dan penegak kedaulatan dalam pemerintahan ?
Namanya pendapat dan opini, tentu kita juga bisa memahami kritik maupun kontra terhadap sebuah kebijakan politik dalam setiap pemerintahan, dan itulah indahnya demokrasi. Cuma permasalahan yang mesti kita waspadai dan juga antisipasi bersama adalah hidden agenda sebuah kepentingan kelompok (baik luar dan dalam negeri) yang berinfiltrasi ke dalam sistem demokrasi untuk mengamankan kepentingan kelompoknya. Bisa jadi itu adalah kepentingan state or non state, bisa juga elit community atau coorporation.
Karena di dalam perspektif ilmu geopolitik dan geostrategi, selagi sebuah negara itu mempunyai sumber daya melimpah, maka akan selalu jadi incaran negara-negara maju di dunia untuk dapat menguasai sumber daya tersebut, apapun caranya!
Nah, jika di masa lalu perebutan sumber daya alam itu melalui invansi militer dan kolonialisasi, namun sekarang di era moderen hal ini sudah mulai bergeser. Atau dalam istilahnya dari posisi symetric war (perang fisik) menjadi asymetric war (perang non fisik melalui ekonomi, perdagangan, politik, budaya, dan ideologi), bahkan hybrida war (gabungan keduanya).
Artinya, menempatkan TNI dalam perspektif ancaman perang moderen saat ini sebagai tentara untuk berperang melawan tentara asing (invansi militer) adalah mindset lama alias “old school”. Karena dalam ancaman perang moderen (mega trend) saat ini, justru ancaman perang asymetric itu yang lebih berbahaya dan mempunyai daya rusak lebih tinggi. Salah satunya kita sebut “Proxy War”.
Yaitu, sebuah negara atau elit global tidak perlu lagi mengirimkan tentara dan berperang secara fisik karena beresiko tinggi dan bermodal besar. Tapi, cukup beri dukungan logistik ekonomi, modali politisi, tokoh, partai politik dan elit politik suatu negara, atau bahkan kaderisasi dan bina warga negara lokal untuk jadi agen-agennya, kemudian dimodali dan didukung untuk mendapatkan posisi jabatan strategis dalam pemerintahan. Maka dengan mudah, kelompok ini akan leluasa membuat aturan, undang-undang, regulasi serta kebijakan yang menguntungkan kelompoknya secara legal atas nama hukum dalam pemerintahan. Tanpa harus berperang menggunakan senjata lagi.
Kalau kondisi di atas terjadi, atau malah sudah terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab ? Siapa yang akan berdiri di depan dan akan disalahkan apabila pada suatu saat nanti, negara ini kolaps, bangkrut, sumber daya alam dan wilayahnya dicaplok atas nama hukum dan konsensi sepihak ?? Sudah pasti TNI bersama rakyat yang akan menanggung semua akibat ini.
Sebenarnya, kalau kita baca buku putih pertahanan yang dibuat oleh Kementrian Pertahanan, semua bentuk ancaman baik itu ancaman yang tampak, tidak tampak, yang ada serta yang akan ada, kita bisa menyimpulkan dalam konteks Indonesia bahwa : Kalau untuk menguasai Indonesia melalui invansi militer, negara manapun yang terkuat di dunia saat ini pasti akan berpikir dan berhitung dalam segala aspek. Melihat kondisi geografis, jumlah penduduk, dan faktor sejarah.
Apalagi kalau mereka paham dengan doktrin dan sistem pertahanan negara kita yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 30 (ayat) 1 yaitu : Sistem Pertahanan Negra Indonesia itu adalah Sishankamrata, Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta. Dimana, bersatu padunya seluruh kekuatan dan komponen bangsa dalam mengatasi ancaman baik dari dalam dan luar negeri.
(Bersambung)