Oleh : DR. Anton Permana
(Pengamat Geopolitik dan Pertahanan, Direktur Tanhana Dharma Mangruva Institute)
Setelah 27 tahun reformasi berjalan, seharusnya tidak ada lagi asumsi tendensius dan kecurigaan berlebihan terhadap militer Indonesia atau TNI. Karena secara fakta empiris berdasarkan survey tahunan, TNI selalu berada di posisi teratas menjadi lembaga atau institusi yang paling dipercaya publik. Bahkan boleh dikatakan, TNI adalah salah satu institusi di era reformasi yang paling berhasil mereformasi dirinya.
Apalagi kalau kita berbicara tupoksi TNI dalam hal doktrin, amanat konstitusi, regulasi, perspektif ancaman dan ilmu geopolitik-geostrategi dalam melihat ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, Gangguan) terhadap kedaulatan serta keberlangsungan negara kita. Dimana penjelasannya adalah :
Berdasarkan amanat konstitusi UUD 1945, pasal 30 (ayat) 1, 2 dan 3, tegas dikatakan bahwa TNI adalah sebagai komponen utama negara untuk menjaga dan menegakkan kedaulatan negara. Secara fungsi, TNI adalah alat pertahanan negara untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Dalam konsep Sishankamrata (Sistem Pertahanna Keamanan Rakyat Semesta)
Secara doktrin, azas serta faktor sejarah, ada perbedaan mendasar antara militer Indonesia dengan negara mana saja di dunia. TNI adalah institusi yang lahir dari rakyat, bersama rakyat dan untuk rakyat Indonesia. Makanya ada istilah TNI manunggal bersama rakyat. Karena Indonesia adalah satu satunya negara yang lahir dan merdeka melalui perang dan senjata. Rakyat berperang dan kemudian setelah merdeka rakyat bersama-sama membentuk negara dan kemudian membentuk tentara kalau dulu namanya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Berbeda dengan negara lain yang kemerdekaannya adalah “Given” (persemakmuran) sehingga tentaranya sudah ada sebelum negaranya ada. Atau melekat dengan kekuasan penguasa. Tentara yang di bentuk adalah tentaranya milik penguasa.
Dalam fakta sejarah, TNI sudah teruji dalam setiap keadaan negara genting dan darurat, tampil terdepan menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Mulai dari agresi militer Belanda I dan II, pemberontakan pasca awal kemerdekaan seperti DI/TII, Permesta dan yang spektakuler adalah menumpas pemberontakan PKI 1965.
Begitu juga ketika terjadi reformasi 1998, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ketika itu tetap loyal kepada rakyat dan tidak melakukan kudeta meski peluang itu ada. Namun ABRI, tetap berdiri di tengah konflik menjaga proses reformasi meski difitnah, dicaci maki sebagai dampak dari pemerintahan Orde Baru yang distigmakan militeristik.
Artinya, secara amanat konstitusi, azas, doktrin dan regulasi, TNI itu tidak bisa dipisahkan dari negara sebagai alat pertahanan negara dalam menjaga kedaulatan negara dan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Artinya ; Politik TNI itu adalah Politik Negara ! Yang setia terhadap konstitusi negara dan rakyat. Sangat naif rasanya kalau TNI dikooptasi untuk terlibat dalam politik negara, kecuali dalam politik praktis pemerintahan. TNI itu baru pasif dan berdiri atas semua golongan.
. Perlu persamaan pikiran dan pemahaman dalam menerjemahkan istilah Dwi Fungsi TNI yang sebelumnya disebut Dwi Fungsi ABRI. Sebuah istilah dan terobosan cerdas dari Jendral Besar AH Nasution yang secara intiusi mata batin pandangan militernya melihat ada celah kosong berbahaya dalam sistem pemerintahan demokrasi yang harus dijaga dan dikawal bersama komponen negara lainnya.
Yaitu : Ketika hak politik ABRI dalam Pemilu dicabut agar netral, untuk itulah ABRI harus juga mempunyai keterwakilan fraksi di DPR RI sebagai entitas negara untuk menjaga, mengawal seluruh kebijakan politik pemerintahan tidak lari dan keluar dari kepentingan nasional.
Jakarta, 15 Februari 2025