Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
RUANGPOLITIK.COM – Apakah ada yang memandang kritik terhadap perempuan adalah perempuan secara esensi? Atau pertanyaannya diubah, mungkinkah kritik-kritik terhadap perempuan, sejatinya kritik membawa, sebut saja dengan pengaruh positif terhadap eksistensi perempuan? Bukankah kebebasan sebagai akibat (“effect of the issue”) dapat menjadi persoalan, tidak semata bertumpu pada esensi seorang baik laki-laki maupun perempuan?
Kemudian persoalan pembatasan, isu yang sering dihembuskan berupa pembatasan terhadap seorang karena dianggap sebagai perempuan. Padahal jika yang dimaksudkan ialah islah; upaya pembenahan atau usaha meluruskan apa yang menjadi tabiat atau karakter sebut saja buruk dari perempuan, maka kritik terhadap perempuan telah membawa kehidupan dunia serta peranannya di dunia menjadi lebih baik, namun bukankah berbagai persoalan menjadi rumit dan kian pelik?!
Pertimbangan yang penting di tengah terbukanya ruang kebebasan untuk direfleksikan adalah tidak semata kata para ahli berupa daya saing perempuan di ranah publik, baik pada berbagai sektor kerja atau pada kesempatan pengembangan diri dan keterampilan seperti sekolah dan ruang publik lainnya, serta konsistensi terhadap ranah tersebut setidaknya secara ide, seperti bersaing pada sektor pekerjaan-pekerjaan berat sekali pun, atau berlomba dalam sisi kualitas pada ranah pendidikan, tetapi pertanggungjawaban terhadap pembukaan pintu kebebasan yang disalahguna misalnya.
Meski termasuk persoalan klasik, alasan-alasan pencerahan terhadap berbagai persoalan tersebut dibutuhkan sebagai perannya dalam penyeimbang pandangan, tidak dalam pengakuan (klaim) terhadap keadilan, mengaku dan merasa mampu namun berusaha sepenuh daya untuk mampu berbuat adil, setidaknya pada ide/pemikiran. Kritik terhadap perempuan pada ranah paradigmatik sebenarnya adalah usaha justru menjatuhkan martabat dan keistimewaan perempuan.
Penghembusan isu, belakang dikenal dengan istilah konsep pemikiran, serupa kritik atau usaha yang biasa dikatakan membela hak-hak khas perempuan pada kenyataannya mengancam eksistensi bahkan ranah eksistensi perempuan, isu-isu lain juga bersumber, bercorak, dan berorientasi relatif sama, seperti pluralisme agama yaitu terhadap (penganut) agama, liberalisme terhadap pandangan ekonomi, sosial, juga politik, serta globalisasi yang justru sebenarnya menerjang tembok-tembok budaya atau kearifan lokal.
Maka Filsafat kembali hadir, sebagai sifat khas keilmuwan, Ilmu Filsafat membawa pencerahan. Semangat awal lahirnya ide berupa tidak sekedar “bisikan”, adalah dalam niat membawa pencerahan. Meski diakui sebagai produk pemikiran manusia, tidak mengherankan sering mengalami penolakan atau sebut saja dengan kontroversi di kalangan masyarakat terlebih kalangan intelektual; larangan mempelajarinya dan untuk menjauhi atau meninggalkannya, hukum haram atasnya dan lain sebagainya.
Di tengah hiruk-pikuk pandangan, ternyata tidak hanya terjadi berupa perbedaan pandangan antar atau internal para Filsuf, namun juga dari luar, Filsafat juga Ilmu Filsafat menjadi pencerahan khususnya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia, termasuk perkara yang berkait perempuan atau wanita yang seringnya dan diidentikkan dengan keduniaan.
Lantas mengapa harus Filsafat? Tidak cukupkah sikap diam atau meninggalkan secara begitu saja perkara tersebut serta berlepas diri sebagai jalan keluar? Jawaban ini dapat diterima secara begitu saja dalam kondisi (berjiwa) tenang, namun pandangan ini akan mendapat tantangannya tatkala berhadapan dengan kondisi hiruk-pikuk sebagaimana yang disebut di atas.
Meski sempit, Filsafat juga Ilmu Filsafat senantiasa berusaha menikmatinya sebagai medan perjuangan di sana. Tidak dalam arti bertanggung jawab secara sepenuhnya, namun Filsafat juga Ilmu Filsafat senantiasa berjuang dengan tidak meninggalkan realita sebagaimana kondisinya, sebut saja yang disebut tadi dengan istilah hiruk-pikuk. Jika kondisi tersebut terjadi di kegelapan, misalnya malam hari, maka Filsafat dan Ilmu Filsafat, khasnya ilmu bersifat menerangi. Filsafat menjelma cahaya di sana. Atau sekedar membawa suasana khas kebudayaan di sana, “entahlah!” (***)