Oleh: Mhd. Perismon
Fungsionaris DPP PPP
‘Batu kecil’ pada pondasi reformasi’98
RUANGPOLITIK.COM – Pilpres 2024 adalah pemilihan presiden yang ke-6 kali sejak Masa Reformasi yang dimulai oleh para mahasiswa dan masyarakat pada Tahun 1998, yang ditandai dengan tergulingnya Presiden Soeharto dengan Orde Barunya.
Gerakan Reformasi itu sendiri, terjadi karena semakin tidak terkendalinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada masa Orde Baru di bawah Pemerintahan Soeharto.
Ada banyak hal sebenarnya yang memicu terjadinya Gerakan Reformasi tersebut, dalam berbagai jurnal disimpulkan penyebab utamanya adalah adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, yakni Presiden Soeharto.
Kekuasaan Presiden Soeharto benar-benar mencengkram pada seluruh sendi-sendi bernegara, seperti hukum, ekonomi, sosial dan sendi-sendi lainnya.
Akibatnya, muncullah kelompok-kelompok yang mendapatkan manfaat luar biasa besar, yakni kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Korupsi, kongkalingkong proyek-proyek, kebijakan-kebijakan yang diatur sedemikian rupa yang mengarah ke kolusi yang kemudian juga diikuti nepotisme dalam banyak hal, termasuk dalam jabatan di pemerintahan.
Untuk nepotisme yang menjadi pertanda jelasnya adalah ketika Presiden Soeharto mengangkat anaknya Siti Hardianti Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial dan beberapa keluarganya juga ditempatkan pada beberapa posisi di pemerintahan.
Gejala-gejala ketidak-puasan atas sikap pemerintah yang semakin sentralistik, sudah terhendus jauh sebelum Tahun 1998, namun karena adanya krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia pada Tahun 1997-1998, ketidak-puasan itu semakin menggelinding seperti bola salju yang kian membesar.
Para mahasiswa sebagai gerbong terdepan mulai bergerak secara masif, dengan dukungan masyarakat yang juga menginginkan adanya perubahan atas ekonomi yang semakin sulit.
Superioritas Soeharto beserta para kroni-kroninya, akhirnya terhenti karena deras dan kuatnya gelombang gerakan tersebut.
Soeharto jatuh, harapan baru terbuka dan terbentang dengan nama Masa Reformasi.
25 tahun sudah Masa Reformasi itu berjalan, sudah 5 kali terjadi pemilu dengan berbagai format, para ‘Bintang-Bintang Reformasi’ yang menamakan diri Angkatan’98 sudah bersinar di berbagai bidang, baik di pemerintahan, ekonomi, sosial akademis dan bidang-bidang lainnya.
Angkatan 98 sendiri seakan menjadi sebuah ijazah untuk mendapatkan legitimasi sejak mulai bergulirnya Masa Reformasi sampai sekarang.
Tetapi apakah cita-cita reformasi itu sudah tercapai???
Itu pertanyaan yang sangat sering mengapung, namun tidak ada satupun yang dapat memberikan jawaban secara lantang.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjadi isu terbesar pada peralihan Orde Baru ke Masa Reformasi, terbukti belum bisa terhapuskan di negara ini.
Itu bahkan tidak memerlukan data dan hasil-hasil survei untuk mengetahuinya, tidak perlu juga dibentang indeks-indeks segala macam.
Soal korupsi, tidak perlu kita menyebut satu persatu, mengingat hampir tiap hari kita menonton di TV dan membaca di media, bahkan sampai ke level teratas yang selama ini menganggap korupsi adalah aib.
Pada Pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini saja, sudah ada 4 menteri yang menjadi tersangka korupsi.
Soal kolusi, sudah tidak bisa dibantah kolusi selalu mengiringi kasus-kasus korupsi. Hampir semua kasus korupsi dipastikan diikuti oleh terjadinya kolusi yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai macam formatnya.
Soal nepotisme, memang sampai saat ini sedikit sekali kita mendengar adanya pihak-pihak yang dihukum atau dipenjara karena nepotisme.
Pengertian nepotisme sendiri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, dijelaskan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk nepotisme ini, silahkan nilai sendiri apakah pada masa sekarang sudah berkurang atau malah tambah parah?
Penuntasan Agenda Reformasi
25 tahun sudah Masa Reformasi berlangsung, sudah terjadi 5 kali pemilu dengan berbagai format, sudah ada 4 presiden dan 5 wakil presiden yang menjabat sejak Pemilu 1999.
Namun tidak ada satupun presiden dan wakil presiden yang berlatar belakang Praktisi Hukum atau Akademisi Hukum, hal ini menjadi kontradiktif dengan isu yang menjadi tonggak terjadinya reformasi tersebut.
Tagline KKN yang menempel erat pada Orde Baru, Soeharto dan kroni-kroninya, yang menjadi pemicu utama reformasi harusnya berujung ke Penegakan Hukum secara adil dan komprehensif.
Penuntasan agenda reformasi, layaknya ditandai dengan hilangnya korupsi, kolusi dan nepotisme, sebenarnya harus digawangi atau dikomandoi seorang Pendekar Hukum.
Mungkin saya salah, tapi melihat 25 tahun belakang dengan tidak adanya orang-orang yang memiliki latar belakang hukum di pucuk pimpinan bangsa, membuat semakin kaburnya penuntasan persoalan KKN.
Wajar rasanya saya berharap diberikan kesempatan kepada sosok yang paham, mengerti dan berani untuk bersuara dan bertindak untuk menjadikan hukum kembali sebagai panglima di negara ini, apalagi sosok tersebut boleh dibilang salah satu Pendekar Hukum yang memiliki keberanian dan kebijaksanaan yang sudah teruji.
Terpilihnya Mahfud MD sebagai Cawapres Ganjar Pranowo, bagi saya membawa harapan baru dalam penuntasan agenda reformasi, khususnya dalam hal yang sangat fundamental yaitu KKN.
Nama Mahfud MD sendiri saat ini berada dalam garda terdepan dari sedikit Pendekar Hukum yang ada di Indonesia, hal itu pasti sudah tidak dipungkiri dan tidak akan diperdebatkan juga.
Sebagai seorang Profesor Hukum, Mahfud MD memiliki pengalaman panjang sebagai akademisi yang juga disempurnakan dengan pengalaman panjang pada beberapa jabatan strategis.
Tercatat sebagai salah satu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada periode terbaik sejarah kepemimpinan mahkamah tersebut.
Pada masa Mahfud MD menjadi Ketua MK, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut sangat tinggi, bahkan menjadi yang tertinggi dibanding instansi-instansi lain.
Pada masa itu, juga tidak diperlukan hadirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), karena muncul krisis kepercayaan terhadap lembaga terhormat itu.
Mahfud juga berpengalaman Menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Azazi Manusia dan Menteri Pertahanan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, dan juga pernah menjadi Anggota Komisi 3 DPR RI yang membidangi soal hukum.
Pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo 2019-2024, dipercaya menjadi Menteri Koordinator Hukum, Politik dan HAM (Menkopolhukam), yang semakin memperlihatkan keberpihakkannya kepada penegakan hukum.
Memiliki keberanian tingkat tinggi untuk mengungkap potensi-potensi pelanggaran hukum, bahkan jika ada dugaan penyimpangan hukum yang melibatkan pejabat negara yang menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat, Mahfud langsung berdiri di depan dan pasang badan demi wibawa hukum di Indonesia.
Track record yang jelas dan terpampang nyata itu, menjadi modal besar bagi Mahfud MD untuk menuntaskan agenda terbesar reformasi.
Saya yakin, pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD sudah membuat kesepakatan untuk upaya-upaya penegakan hukum akan diserahkan ke tangan Sang Pendekar Hukum.
Oleh karena itu, saya dengan penuh percaya diri dan pengharapan yang besar menghimbau kepada teman-teman para pencetus, penggerak, pejuang dan penikmat reformasi yang menyebut dirinya Angkatan 98 untuk kembali mengenang agenda besar reformasi yaitu Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sekarang jalan untuk itu kembali terbuka, Pak Mahfud sudah berada di jalurnya.
“Ayo teman-teman Angkatan 98, Pak Mahfud sudah berada di depan. Kita tuntaskan agenda reformasi, kita selesaikan apa yang sudah anda perjuangkan dahulu yang memakan nyawa dan menumpahkan darah..!!!” (***)