RUANGPOLITIK.COM – Nama Putera Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencuat sebagai salah satu cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang.
Seluruh parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM) menyetujui dan mendukung Gibran, namun sampai saat ini pasangan tersebut belum juga deklarasi secara resmi.
Masuknya nama Gibran sebagai cawapres akan memberikan jaminan dukungan Jokowi kepada Prabowo, yang kemungkinan juga memastikan infrastruktur pemerintahan bisa menjadi penyokong utama.
“Iya, itulah harapan dari Prabowo dan parpol pengusung. Karena Jokowi masih presiden yang berkuasa penuh sampai pada tahapan pilpres selesai. Dukungan Jokowi adalah modal besar bagi Prabowo,” kata Pengamat Politik Citra Institute Efriza, ketika berbincang dengan Rupol, Minggu (22/10/2023).
Tetapi semua itu bisa juga memiliki resiko yang besar dan malah berbalik menjadi badai bagi Prabowo.
Nama Gibran menciptakan sisi lemah yang rawan untuk diserang pihak lawan, mengingat sentimen negatif terhadap politik dinasti sangat tinggi.
“Hampir semua pemain politik saat ini adalah jebolan reformasi 98, yang salah satu narasi besarnya itu adalah soal nepotisme. Dinasti politik itu bagian dari nepotisme, yang semua politisi dan aktivis punya peluru diarahkan kesana. Ini berbahaya sebenarnya dan sangat beresiko juga bagi Jokowi di saat masa-masa akhir jabatannya. Pertaruhan bagi ‘legacy’ yang akan ditinggalkannya,” sambung Efriza.
Keputusan MK soal batas usia capres/cawapres yang memberi peluang kepada Gibran, juga akan menjadi gorengan selama masa kampanye.
“Ada narasi ‘abuse of power’ yang akan digaungkan. Bagi masyarakat itu akan menjadi stempel tersendiri ada Si Buruk dan Si Baik, tidak lagi abu-abu. Akan menjadi badai bagi pasangan Prabowo-Gibran dan termasuk Jokowi sendiri,” papar Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo tersebut.
‘Dejavu’ Pilgub DKI, Anies Menang Lagi
Menurut Efriza, ada beberapa kemiripan Pilpres 2024 dengan Pilgub DKI 2017 jika Prabowo-Gibran berpasangan yang akan memberikan keuntungan pada pasangan Anies-Muhaimin.
Jika berkaca kepada hasil survey sebelum Pilgub DKI 2017 lalu, dengan 3 pasangan Agus-Silvy, Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga hampir sama dengan kondisi survey saat ini.
Pada Pilgub DKI survey Agus-Silvy berbeda tipis dengan Ahok-Djarot sedangkan Anies-Sandiaga selalu berada di bawah.
Begitu juga dengan pilpres saat ini, Prabowo berbeda tipis dengan Ganjar dan Anies mengikuti pada posisi tiga dengan jarak yang cukup jauh.
Kemudian, lanjut Efriza terjadilah badai pada pasangan Agus-Silvy yang mendapatkan serangan keras dengan narasi penzhaliman SBY terhadap Antasari Azhar, narasi kemampuan AHY yang dianggap terlalu dipaksakan dan beberapa narasi lain yang sulit dibendung pasangan Agus-Silvy.
Seperti yang kita ketahui, akhirnya Agus-Silvy melorot di putaran pertama dan menempatkan Anies-Sandiaga maju ke putaran kedua melawan Ahok-Djarot yang unggul di putaran pertama.
Pada putaran kedua, suara Agus-Silvy akhirnya mengalir ke Anies-Sandiaga sehingga mengalahkan Ahok-Djarot.
“Peluang ‘dejavu’ Pilgub DKI itu terbuka lebar. Situasi Agus-Silvy itu sama persis jika Prabowo berpasangan dengan Gibran. Serangan-serangan akan mengarah ke mereka dengan sangat deras, narasinya juga sangat kuat. Ada narasi dinasti politik, narasi Gibran yang terlalu dipaksakan dan banyak lagi. Jika Prabowo-Gibran merosot, maka Anies-Muhaimin akan berhadapan dengan Ganjar-Mahfud di putaran kedua,” analisa Efriza.
Pada putaran kedua, suara Prabowo-Gibran akan mengalir dengan mudahnya ke Anies-Muhaimin untuk mengalahkan Ganjar-Mahfud.
“Suara Prabowo itu masih satu garisan dengan Anies, sehingga mudah untuk berpindah. Sementara suara Gibran yang juga suara Pak Jokowi itu juga akan mengalir ke Anies-Muhaimin. Karena kalau Gibran maju, Jokowi dengan PDIP pasti berdarah-darah, jadi lebih mudah untuk ke Anies,” imbuhnya.(Syf)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)