Oleh: Kemala Atmojo Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
RUANGPOLITIK.COM – Seorang kawan yang kebetulan sedang bertugas di luar negeri mengirim beberapa lembar foto dengan keterangan: Tolong dibahas kenapa para pathological liar (pembohong patologis) ini sering sekali muncul atau diundang di acara televisi?
Demi rating atau ada agenda khusus dari pengelola acara? Mula-mula saya tidak terlalu tertarik dengan kiriman kawan itu. Bukankah pertimbangan rating, iklan, dan agenda khusus oleh pengelola acara sebuah stasiun televisi sudah lama berlangsung dan lumrah saja sejauh tidak melanggar aturan?
Andai saja dia langsung bertanya bagaimana konsep kebenaran menurut aliran pragmatisme William James dan John Dewey; Atau bagaimana kaitan konsep kebenaran dengan fakta, kebenaran dengan waktu, komunikasi, serta kaitannya dengan kekuasaan, mungkin saya lebih semangat mencarikan referensinya.
Tapi, karena permintannya diulang beberapa kali, saya jadi teringat ada hal-hal yang memang perlu mendapat perhatian.
Pertama, soal frekuensi publik. Para pengelola acara televisi itu harus sadar bahwa frekuensi yang dia gunakan itu bukan harta karun turun-temurun milik pribadi bosnya. Kedua, soal ancaman terhadap proses demokrasi dan pengembangan peradaban. Pertama, soal frrekuensi publik yang selama ini memang digunakan oleh stasiun televisi.
Frekuensi publik ini adalah frekuensi radio yang digunakan untuk kepentingan publik, seperti penyiaran radio, telepon selular, dan televisi.
Frekuensi publik dimiliki oleh pemerintah atau lembaga publik lainnya, dan digunakan untuk menyediakan layanan penyiaran yang berkualitas. Karena jumlahnya terbatas dan permintaan penggunaannya cukup tinggi, maka sebaiknya frekuensi ini digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dalam arti luas, misalnya meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Izin atau lisensi penggunaan frekuensi publik ini diberikan oleh pemerintah kepada penyedia layanan komunikasi, seperti stasiun radio atau televisi, operator jaringan seluler, dan penyedia layanan internet tertentu. Lalu pengaturan frekuensi ini pertama-tama dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih dan gangguan dalam komunikasi.
Tanpa pengaturan yang tepat, berbagai layanan komunikasi dapat saling berinterferensi dan mengganggu kinerja satu sama lain. Oleh karena itu, pengaturan frekuensi memainkan peran penting dalam menjaga kualitas layanan komunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Pihak yang menggunakan frekuensi tersebut harus tunduk pada regulasi yang telah ditetapkan.
Maka, sebagai salah satu penyelenggara telekomunikasi, stasiun televisi haruslah ikut merasa bertangung jawab atas penggunaan frekuensi publik agar digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik dan pemajuan peradaban.
Kita tahu, salah satu asas dan tujuan telekomunikasi adalah untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Secara periodik izin atau lisensi yang diberikan kepada penyelengara telekomunikasi itu dievaluasi, dan kalau perlu dicabut kembali izinnya. Frekuensi ini juga merupakan bagian penting dari pengembangan demokrasi. Sebab ia dapat membantu masyarakat untuk mengakses informasi dan hiburan yang berkualitas, serta untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dan kemajuan peradaban.
Maka, jika isi dari siaran televisi tidak berkualitas, maka –dalam konteks politik– hal itu juga dapat diartikan sebagai salah satu ancaman terhadap demokrasi yang sedang kita bangun bersama-sama. Salah satu ancaman demokrasi modern saat ini adalah manipulasi informasi dan disinformasi.
Penyebaran berita palsu (hoaks) dan manipulasi informasi dapat merusak persepsi publik dan mengganggu proses demokrasi. Pihak-pihak yang berupaya memanipulasi informasi itu memang dapat memengaruhi opini publik melalui televisi. Tak terkecuali kebohongan yang disampaikan oleh para pathologic liar yang diberi ruang luas oleh pengelola acara di televisi.
Phatological liar (kita sebut saja pembohong yang konsisten) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecenderungan kuat untuk berbohong secara konsisten. Bahkan sering tanpa alasan yang jelas atau bahkan tentang hal-hal yang tidak penting.
Mereka cenderung secara terus-menerus membuat cerita atau pernyataan yang tidak benar, bahkan ketika bukti-bukti menunjukkan sebaliknya. Mereka juga sering kali berbohong untuk mendapatkan perhatian, membela kelompok tertentu, untuk mengontrol orang lain, atau untuk melindungi diri mereka sendiri dari rasa malu atau rasa bersalah.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti gangguan kepribadian, gangguan psikologis, trauma masa kecil, atau kebutuhan perhatian dan pengakuan. Kecenderungan berbohong yang ekstrem ini dapat memiliki dampak negatif pada kehidupan individu yang bersangkutan, termasuk dalam hubungan sosial.
Lalu, cepat atau lambat, pembohong yang konsisten ini, jika tidak segera mengoreksi diri, bisa saja terjerat dalam masalah hukum akibat kebohongannya.
Seorang pembohong yang konsisten sering kali merancang cerita bohong dengan sangat terperinci, retoris, dan rumit. Mereka mungkin menyiapkan banyak detail dan informasi tambahan untuk membuat kebohongannya terlihat lebih meyakinkian. Mereka cenderung tidak merasa bersalah atau tidak menganggap harus bertanggung jawab atas kebohongannya.
Bahkan, sangat mungkin mereka terus melanjutkan berbohong meskipun mereka tahu bahwa kebohongan mereka telah terbongkar. Jadi, apa yang diucapkan oleh si pembohong yang konsisten ini setara dengan penyebaran hoax.
Ancaman lain terhadap demokrasi, seperti kata para cerdik-pandai, adalah korupsi. Sebab korupsi dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya.
Korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk suap, penggelapan, dan nepotisme. Korupsi yang sistemik dapat menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan dan proses demokrasi. Jika pemerintahan tidak dapat memberikan layanan dasar dan memenuhi kebutuhan rakyat, itu dapat mengancam stabilitas.
Oligarki atau kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang yang kaya juga dapat mengancam demokrasi karena dapat membatasi partisipasi publik dalam proses politik dan membuat pemerintah menjadi tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Keputusan-keputusan penting dilakukan hanya untuk menguntungkan kelompoknya sendiri.
Polarisasi politik yang ekstrem juga dapat melemahkan kemampuan untuk mencapai konsensus dan bekerja sama dalam sistem demokrasi.
Jika ketidaksepakatan menjadi terlalu tajam, proses pengambilan keputusan dan stabilitas politik dapat terganggu.
Dalam polaritas ekstrem bisa timbul rasa saling tidak percaya, rasa saling curiga. Kesenjangan ekonomi dan sosial yang besar juga dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam partisipasi politik dan akses terhadap kebijakan publik. Kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan cenderung kurang percaya pada proses yang demokratis.
Apalagi jika sampai terjadi krisis ekonomi yang mendalam atau ketidakstabilan sosial. Hal itu dapat menciptakan ketidakpuasan terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada. Keadaan semacam itu dapat memicu gerakan anti-demokrasi, misalnya.
Media sosial yang tidak terkontrol juga dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah serta propaganda yang dapat merusak demokrasi dengan memecah belah masyarakat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Karena itu, menurut saya, masyarakat juga harus diajak mengenali berbagai teknik propaganda agar bisa membedakan mana propaganda dan mana informasi yang benar.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)