BMKG memperkirakan, hampir seluruh wilayah di Indonesia akan mengalami curah hujan rendah hingga Oktober mendatang, dengan puncak kemarau terjadi pada Agustus dan September.
RUANGPOLITIK.COM —Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab, menjelaskan, sampai saat ini sekitar 63 persen dari 699 zona musim di Indonesia sudah memasuki musim kemarau yang terdampak oleh El Nino.
“Itu artinya kemarau sudah tiba dan dampak El Nino mulai terasa. Puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus dan September 2023,” kata Fachri dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengusung tema “Waspada Dampak El Nino”, Senin (31/7/2023).
BMKG memperkirakan, hampir seluruh wilayah di Indonesia akan mengalami curah hujan rendah hingga Oktober mendatang, dengan puncak kemarau terjadi pada Agustus dan September.
Beberapa wilayah diprediksi akan mengalami curah hujan rendah hingga Oktober, terutama di seluruh Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, serta Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Sementara sebagian wilayah seperti Maluku masih belum memasuki musim kemarau.
“Penting untuk memperhatikan ketersediaan air tanah di beberapa wilayah, karena El Nino dapat menyebabkan penurunan ketersediaan air tanah. Hal ini harus diantisipasi, terutama bagi daerah yang bergantung pada air tanah sebagai sumber utama,” jelasnya.
Fachri mengatakan, BMKG telah bekerja sama dengan berbagai lembaga dan komunitas lokal untuk menyediakan informasi terkini kepada masyarakat. Termasuk mengenai ketersediaan air tanah dan perencanaan pengelolaan air.
Fachri juga mengimbau agar masyarakat di perkotaan perlu mewaspadai suhu tinggi dan menjaga kesehatan dengan mengonsumsi air minum yang cukup. “Fenomena tanpa hujan yang lama dapat meningkatkan risiko polusi udara, dan hujan memiliki fungsi mencuci polutan di udara,” ungkapnya.
Fachri memaparkan, saat ini BMKG telah berusaha menyediakan informasi mengenai El Nino melalui berbagai saluran komunikasi, termasuk sosial media dan pertemuan rutin dengan lembaga terkait.
BMKG juga bekerja sama dengan komunitas lokal, mengadakan sekolah lapangan iklim, dengan harapan masyarakat semakin sadar terhadap fenomena El Nino dan dapat mengantisipasi dampaknya.
“Kita semua perlu bersama-sama mengantisipasi dampak El Nino ini mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga lingkungan. Kewaspadaan dan tanggung jawab bersama diharapkan dapat meminimalkan akibat yang ditimbulkan dari kemarau yang dipengaruhi oleh El Nino,” pungkasnya.
Fenomena El Nino memiliki dampak yang merata di berbagai wilayah, dan beberapa tahun terakhir tercatat intensitas El Nino bervariasi. Fachri mencatat, fenomena El Nino terakhir kali intensitasnya cukup lemah pada 2019. Sementara pada 2015, El Nino mencapai tingkat yang kuat.
Pada indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO), yang menggunakan anomali suhu permukaan laut menunjukkan, bahwa grafik ENSO terus menaik, yang berarti El Nino semakin menguat. Saat ini, indeks ENSO mencapai 1,01 dalam 10 hari terakhir.
“Sebagian besar lembaga meteorologi juga melaporkan grafik serupa. Namun, ketika memasuki musim hujan, grafik ENSO mulai menurun, dan dampaknya berupa berkurangnya intensitas El Nino, serta meningkatnya curah hujan,” imbuh Fachri.
Sebagai informasi, El Nino adalah peristiwa peningkatan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang menyebabkan berkurangnya udara basah menuju Indonesia, mengakibatkan berkurangnya curah hujan dan meningkatnya risiko kekeringan.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)