Sekretaris IAW Iskandar Sitorus meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kembali atas angka kerugian tersebut, agar data yang dihasilkan sahih, valid, dan faktual.
RUANGPOLITIK.COM —Indonesia Audit Watch (IAW) meragukan hasil perhitungan kerugian keuangan negara Rp8,03 triliun di kasus korupsi dalam penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tahun 2020-2022.
Sekretaris IAW Iskandar Sitorus meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kembali atas angka kerugian tersebut, agar data yang dihasilkan sahih, valid, dan faktual.
Sekretaris IAW Iskandar Sitorus meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kembali atas angka kerugian tersebut, agar data yang dihasilkan sahih, valid, dan faktual.
Enam+02:15VIDEO: Ganjar Pranowo Temui Gen Z dan Millenial di Gelora Bung Karno
Seperti diketahui, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menyimpulkan kerugian negara di kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo mencapai Rp8.032.084.133.795.
“Kami ragu dengan angka Rp8,03 triliun,” tutur Iskandar kepada wartawan, Senin (5/6/2023).
Menurut Iskandar, dalam proyek pembangunan BTS tersebut para vendor diketahui telah melakukan belanja berbagai perangkat penunjang untuk pembangunan BTS.
“Artinya barangnya sudah dibeli, apa iya kerugiannya hingga 80 persen. Maka dari itu kami meragukan penghitungan BPKP” jelas dia.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menambahkan, Kejagung mesti menjawab keraguan publik atas hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP di kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo.
“Sebab BPKP hanya menghitung prestasi terbangunnya BTS berdasarkan cut of proses pembangunan hingga tahun Maret 2022, yang secara kumulatif baru terbangun 20 persen,” kata Boyamin.
Padahal secara faktual, sambungnya, sampai dengan Desember 2022 anggaran sebesar Rp8,03 triliun itu sudah terserap sebesar 90 persen atau setara Rp7,47 triliun untuk belanja perangkat BTS, seperti akomodasi angkutan perangkat sampai ke lokasi dan konstruksi BTS.
“Namun belum dibuatkan berita acara serah terima BTS dengan BAKTI” ujarnya.
Boyamin menyebut, BPKP dinilai hanya menghitung dari jumlah menara sebanyak 1.200 unit dari 4.800 unit yang seharusnya terbangun. Namun, BPKP belum menghitung nilai perangkat BTS yang sudah dibelanjakan oleh sub kontraktor yang tersebar di seluruh wilayah.
“Penjelasan Kejagung atas keraguan publik harus rasional, logis, dan ilmiah. Hal ini dibutuhkan untuk menepis adanya tudingan motif politik dalam penanganan kasus korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G ini, yang dipakai untuk membunuh lawan politik, sekaligus menaikan kawan politik menjelang pilpres tahun 2024,” tuturnya.
Boyamin pun mengingatkan Kejagung agar tetap meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016, sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
“Salah satu rumusan pidana khusus yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian negara. Karena BPKP hanya berhak untuk menghitung kerugian negara, namun tidak berhak menyatakan adanya kerugian negara,” Boyamin menandaskan.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)