RUANGPOLITIK.COM — Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memutuskan gugatan terhadap sistem pemilu besok, apakah sistem dengan mencoblos nama caleg seperti pemilu sebelumnya, atau bakal mencoblos gambar partai tanpa bisa memilih calegnya. Ada istilah penting yang perlu diketahui sembari menunggu putusan MK besok. Istilah penting itu adalah ‘open legal policy’.
Istilah ini sering disebut-sebut orang dalam diskursus MK menyikapi gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu.
Dulu, MK menyebut urusan UU Pemilu termasuk kategori open legal policy. Urusan UU Pemilu tidak diatur secara detail oleh konstitusi, norma hukum tertinggi yang menjadi domain hakim-hakim MK.
Hal ini disampaikan MK lewat lama Facebook resminya, ‘Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia’ pada 12 Desember 2020, atau hampir tiga tahun lalu. Begini penjelasan MK soal open legal policy.
“(Open) Legal Policy dapat dimaknai sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (UU). Hal ini dipraktikkan ketika konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan suatu ketentuan tertentu harus diatur oleh UU,” demikian kata MK dalam unggahan Facebook 12 Desember 2020, diakses detikcom pada Rabu (14/6/2023).
Bila suatu urusan merupakan open legal policy, maka urusan tersebut tidak menjadi urusan MK melainkan urusan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. MK (saat itu) menjadikan UU mengenai pemilu sebagai contoh open legal policy.
“Dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertimbangkan sebagai aturan dengan pilihan kebijakan terbuka adalah UU terkait pemilihan umum,” kata MK, menjadikan UU Pemilu sebagai contoh open legal policy.
Jadi, ‘open legal policy’ adalah ‘pilihan kebijakan terbuka’ bagi pembuat undang-undang, bukan MK. Argumen bahwa suatu perkara merupakan ‘open legal policy’ juga sering muncul ketika orang membahas soal gugatan terhadap sistem proporsional terbuka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang bakal diputus besok, entah dikabulkan, ditolak, atau bagaimana jadinya besok.
Dalam berita detikcom, 12 Januari lalu, ahli hukum tata negara Refly Harun menyebut sistem pemilu tidak diatur dalam konstitusi. Itu adalah urusan pembentuk undang-undang, bukan urusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi biarkan pembentuk Undang-undang yang menentukannya. Bagi saya yang selama ini bergerak di bidang hukum tata negara, UUD kita tidak mengatur sistem pemilu,” kata Refly saat itu.
Dalam berita sebelumnya 27 Juli 2022 soal gugatan presidential threshold di MK, hakim MK Arief Hidayat meminta PKS yang memohon gugatan untuk membayangkan gugatan yang bisa muncul selanjutnya bila gugatan PKS dikabulkan. PKS saat itu memohon agar presidential threshold diubah dari 20% menjadi 7-9%. Menurut hakim MK Arief Hidayat, urusan presidential threshold adalah urusan open legal policy, bukan urusan MK.
“Kenapa angka yang open legal policy itu harus Mahkamah menentukan? Ini sebetulnya lebih tepat ke legislative review,” kata Arief yang tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip dari website MK, 27 Juli 2022.
Denny Indrayana yang belakangan heboh soal putusan MK mengenai gugatan terhadap sistem proporsional terbuka Pemilu, juga menggunakan istilah ‘open legal policy’. Ini disampaikannya lewat keterangan tertulis pada 30 Mei lalu.
“Karena soal pilihan sistem Pemilu legislatif bukan wewenang proses ajudikasi di MK, tetapi ranah proses legislasi di parlemen (open legal policy). Supaya juga putusan yang berpotensi mengubah sistem Pemilu di tengah jalan itu, tidak menimbulkan kekacauan persiapan Pemilu, karena banyak partai yang harus mengubah daftar bakal calegnya, ataupun karena banyak bakal caleg yang mundur karena tidak mendapatkan nomor urut jadi,” kata Denny saat itu.
Terbaru, ada mantan penggawa KPU yakni Hadar Nafis Gumay sebagai perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang menggunakan istilah ‘open legal policy’. Menurutnya, sistem proporsional terbuka (pileg nyoblos caleg) atau sistem proporsional tertutup (pileg nyoblos partai) adalah open legal policy.
“Jadi sudah seharusnya MK mengambil sikap konsisten terhadap berbagai aspek serupa dalam beberapa pengujian lain, sebagai satu kewenangan pembuat UU (open legal policy),” kata Hadar kepada wartawan, Rabu (14/6).(Syf)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)