Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun mengaku telah menghitung jumlah utang Negara yang ideal dan seharusnya untuk saat ini.
RUANGPOLITIK.COM —Kondisi utang Indonesia tak habis-habisnya jadi perbincangan publik.
Mantan Rektor Ibnu Chaldun, Musni Umar menyebut kondisi utang Indonesia mengerikan.
“Mengerikan sekali besarnya utang Indonesia yang tembus Rp20.750 triliun. Kata Pak JK berutang itu mudah, yang susah membayarnya,” ucapnya dalam unggahannya di Twitter, Jumat, (2/6/2023).
Loyalis Anies Baswedan ini menyindir pemerintah yang masih sibuk melakukan pembangunan tanpa adanya skala prioritas.
“Sudah besar utang tidak ada skala prioritas dalam pembangunan. Masih bangun kereta cepat Jakarta-Bandung, IKN dll. Maka perubahan merupakan keniscayaan untuk selamatkan Indonesia,” tambah Sosiolog ini.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun mengaku telah menghitung jumlah utang Negara yang ideal dan seharusnya untuk saat ini.
Dijelaskan, jumlah Utang yang dicatat sebesar Rp7.900 triliun saat ini adalah jumlah utang yg terkait langsung dengan pembiayaan di APBN yang menggunakan mekanisme pemerintah menerbitan surat utang negara.
“Jumlah itu adalah akumulasi utang sejak NKRI berdiri 1945 dengan semua periode presiden. Pada periode jaman Pak SBY total utang mencapai hampir 3.000 triliun,” beber Misbakhun dalam keterangannya.
Namun, ada utang negara dalam bentuk lain. Namanya contigency debt. Contigency debt adalah utang yang dilakukan oleh pihak atas nama negara dengan jaminan dari negara yang secara langsung atau tidak langsung berisiko pada negara yang akan masuk dalam mekanisme risiko yang ditanggung oleh APBN.
Utang yang masuk dalam karegori contigency debt ini adalah utang BUMN.
Dalam neraca negara, saham negara di BUMN diakui sebagai assets negara yang dipisahkan tapi utangnya tidak diakui dalam pencatatan negara sebagai utang padahal risiko utang BUMN ini apabila mengalami gagal bayar dan permasalahan berdampak langsung dan membuat postur APBN berubah pada sisi belanja karena harus membuat langkah-langkah penyelamatan BUMN yg bermasalah tersebut.
Dia mencontohkan ketika Jiwasraya mengalami proses gagal bayar, negara sebagai pemegang saham Jiwasraya melakukan upaya bail-in sebesar Rp20 triliun untuk membayar upaya penyelamatan melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN) pada postur belanja walaupun disebut sebagai investasi (istilah APBN).
Risiko lainnya adalah kasus gagal bayar Garuda Indonesia yang kena gugatan PKPU karena gagal bayar sewa pesawat dan negara memberikan PMN 7,5 triliun melalui mekanisme PMN pada belanja di APBN.
Pada beberapa kasus BUMN seperti Merpati, Kertas Leces dan lainnya mekanisme risiko langsung penanganan penyelesaian utang-utang mereka melalui mekanisme APBN.
Akumulasi utang BUMN saat ini ada sekitar 6.710 triliun (Kontan) tahun 2021 + 1.640 triliun hanya untuk 2022 = 8.350 triliun total utang BUMN
Ada lagi utang yang belum dicatat dalam Neraca Negara yaitu utang atau kewajiban negara untuk membayar pensiun para ASN dan TNI-Polri yang belum pernah dimasukkan hitungan aktuarianya sebagai kewajiban negara yang harus dibayar sesuai jatuh temponya. Total estimasinya sekitar Rp 4.500 triliun.
Disebutkan, apabila dicatat dengan mekanisme akuntansi maka estimasi total semua utang dalam neraca negara, jumlah nya adalah Rp20.750 triliun.
“7.900 + 8.350 + 4.500 = 20.750 triliun. Grand Total Jumlah Utang Negara kita saat ini dengan asumsi hitungan yang saya sampaikan di atas,” tambahnya.
“Saya ulangi lagi perhitungan utang di atas sebagai uldate per kuartal pertama 2023. Karena, ada beberapa media mengangkat isi diskusi saya di wa group pada tahun lalu (2022) soal jumlah utang 17.500 triliun, seakan itu tulisan artikel saya dan sedang ramai menjadi pembicaraan,” lanjutnya.
Data ini kata dia didapatkan dalam perjalanan waktu sebagai anggota DPR.
“Isu ini juga saya sampaikan beberapa kali ke pemerintah termasuk Menteri @KemenkeuRI . Ini menjadi concern bersama karena setiap tahun selalu ada rekomendasi dari @bpkri soal rekomendasi-rekomendasi menuju ke arah pencatatan sistem akuntansi keuangan negara yang ideal,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, konsepsi ideal dihadapkan pada praktek yang ada berdasarkan aturan yang belum ideal dimana praktek bernegara itu sebagai proses berjalan yang perlu perbaikan-perbaikan sehingga harus ada perbaikan menuju keadaan ideal.
“Konsep akuntansi harus dipahami karena pencatatan pada risiko-risiko yang menjadi tanggung jawab negara itu bisa diukur sejak awal. Menghadapi manusia yang lemah dalam membangun narasi besar untuk kemajuan bangsa kita serahkan kepada masyarakat untuk menilai,” pungkas politisi Golkar ini.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)