Azhari Ardinal, Dir. Eksekutif Trust Indonesia
RUANGPOLITIK.COM —Pengumpulan para Ketua Partai oleh Presiden Jokowi yang bagi sebagian besar pengamat politik dianggap sebagai strategi politik untuk memperkuat koalisi partainya, ternyata mulai menimbulkan kritik khususnya di media sosial.
Dimana tindakan tersebut dapat merugikan demokrasi karena mempersempit ruang bagi partai politik lain untuk berkompetisi dalam pemilu.
Dalam konteks pemilihan presiden, koalisi terbentuk ketika beberapa partai politik atau kelompok kepentingan bergabung untuk mendukung calon tertentu dalam pemilihan presiden.
Koalisi dapat terdiri dari partai politik yang memiliki ideologi dan tujuan yang sama, atau dapat juga terdiri dari partai politik yang memiliki perbedaan pandangan tetapi bergabung untuk memenangkan pemilihan presiden.
Dalam pandangan Geertz, koalisi politik dalam pemilihan presiden dapat dilihat sebagai tindakan sosial yang memiliki makna budaya.
Setiap partai politik atau kelompok kepentingan memiliki simbol, nilai, dan norma yang berbeda dalam membentuk koalisi politik. Oleh karena itu, interpretasi dan pemahaman terhadap makna budaya masing-masing partai politik dan kelompok kepentingan dalam membentuk koalisi politik sangat penting dalam memahami dinamika koalisi politik dalam pemilihan presiden.
Dalam konteks koalisi politik dalam pemilihan presiden, teori Geertz juga menekankan pentingnya interpretasi dan pemahaman terhadap makna budaya yang terkait dengan kepentingan politik dan strategi dalam membentuk koalisi.
Dengan memahami makna budaya masing-masing partai politik dan kelompok kepentingan dalam membentuk koalisi politik, kita dapat memahami tujuan, ideologi, strategi, dan perbedaan pandangan yang terlibat dalam koalisi tersebut.
Karena itu, meski teori Clifford Geertz tidak secara spesifik membahas tentang koalisi politik dalam pemilihan presiden, konsep interpretasi budaya yang diusungnya dapat diterapkan dalam memahami dinamika koalisi politik dalam pemilihan presiden. Interpretasi dan pemahaman terhadap makna budaya yang terkait dengan kepentingan politik dan strategi dalam membentuk koalisi politik sangat penting dalam memahami dinamika koalisi politik dalam pemilihan presiden.
Contohnya dalam penyebutan ‘Islam santri’. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok masyarakat Muslim di Indonesia yang cenderung taat beragama dan mengikuti tradisi keagamaan Islam yang lebih konservatif, seperti pesantren dan pengajian.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianggap mewakili kelompok Islam santri karena ia pernah menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina, sebuah perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh banyak kelompok Islam. Termasuk juga oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang banyak diikuti kelompok santri.
Kemudian penyebutan ‘Islam abangan’ yang justru menggambarkan kelompok masyarakat Muslim di Indonesia yang memiliki ciri-ciri keagamaan yang lebih liberal dan sering kali mencampurkan unsur-unsur kepercayaan lokal dengan Islam. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dianggap mewakili kelompok Islam abangan karena ia dianggap sebagai sosok yang moderat dan pluralistis, serta banyak berinteraksi dengan masyarakat Jawa yang memiliki tradisi kepercayaan kejawen.
Di sisi lain ada penyebutan ‘Priyayi’, yang merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok masyarakat elite Jawa yang memiliki latar belakang pendidikan dan budaya Jawa tradisional. Calon Presiden Prabowo Subianto dianggap mewakili kelompok Priyayi karena ia berasal dari keluarga bangsawan Jawa dan memiliki latar belakang militer yang kuat, serta berbicara dengan bahasa Jawa yang fasih.
Namun perlu dipahami bahwa masyarakat Indonesia memiliki beragam latar belakang dan budaya yang kompleks. Dan, di sinilah risiko dan tantangannya. Mampukah koalisi mengakomodir perbedaan pandangan politik dan agenda politik yang berbeda antara partai atau kelompok politik yang tergabung dalam koalisi. Maka penting bagi masyarakat untuk ikut menyuarakan pandangan dan aspirasinya terkait isu-isu politik yang ada melalui berbagai media dan forum diskusi yang tersedia.
Membentuk kelompok-kelompok advokasi atau gerakan sosial untuk mengajukan tuntutan dan keinginan mereka terhadap para pemimpin dan calon pemimpin negara. Selain itu, masyarakat juga dapat memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik, termasuk dalam pengumpulan dan penyaluran dana kampanye serta pemilihan calon pemimpin.
Selain itu, masyarakat juga harus dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat dan pandangan politik, serta berusaha untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang damai dan menghormati hukum.
Dalam hal ini, masyarakat dapat memanfaatkan sarana-sarana demokrasi yang ada, seperti pemilihan umum, referendum, dan mekanisme partisipatif lainnya untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasinya secara damai dan demokratis.
Sementara, sebagai pemimpin negara, Presiden Joko Widodo seharusnya tidak memihak pada satu kelompok politik atau partai tertentu. Dirinya harus bersikap netral dan menghargai hak setiap kelompok politik untuk berpartisipasi dalam proses politik secara demokratis.
Saatnya membentuk koalisi politik yang mengedepankan kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan partai atau kelompok politik tertentu.
Selain itu, Presiden Jokowi juga seharusnya memastikan koalisi politik yang terbentuk dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional. Presiden harus mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang beragam dari berbagai pihak dan memastikan bahwa kepentingan nasional tetap diutamakan dalam setiap keputusan yang diambil.
Dan, karena itu, Presiden Jokowi seharusnya mampu mengedepankan dialog, transparansi, dan partisipasi publik dalam seluruh proses politik menuju pemilu 2024. Tujuannya, untuk memastikan bahwa kepentingan nasional dan masyarakat dapat terwakili dengan baik.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)