Maroef kemudian menceritakan sekilas kisah kemerdekaan Papua. Kata dia, Papua merdeka tidak bersama-sama dengan wilayah lainnya di Indonesia pada tahun 1945
RUANGPOLITIK.COM —Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin menilai polemik politik Papua sudah selesai. Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB sudah memutuskan Papua yang dahulu bernama Irian Jaya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Mantan Waka BIN, Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin mengutarakan penilaiannya terkait konflik di Papua pada kanal Youtube Abrahama Samad SPEAK UP. Podcast berjudul “Mantan Waka BIN: Pembantaian TNI Oleh KKB” itu diunggah pada 27 April 2023.
“Ini (konflik politik Papua) sebenarnya permasalahan dalam negeri Indonesia. Sudah selesai kalau secara politik. PBB sudah mengambil keputusan Papua yang dulu bernama Irian menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Papua dulu namanya Irian, kemudian berganti nama menjadi Papua pada era Presiden Abdurrahman Wahid,” kata Maroef.
Maroef kemudian menceritakan sekilas kisah kemerdekaan Papua. Kata dia, Papua merdeka tidak bersama-sama dengan wilayah lainnya di Indonesia pada tahun 1945.
“Kalau kita bicara soal papua, itu kita mundur sejalan dengan sejarah kemerdekaan perjuangan bangsa ini. Merdekanya papua itu tidak sama dengan merdekanya wilayah provinsi lainnya yang sama-sama tahun 45 (1945, red),” kata Maroef.
Setelah melalui referendum dan keputusan PBB di New York barulah dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian (kini Papua). Hasil Penentuan Pendapat Rakyat memutuskan Papua bergabung dengan Republik Indonesia. Jadi masalah politik sudah selesai.
Hanya saja, Maroef menuturkan, ada perasaan yang masih kuat di kalangan masyarakat Papua karena tidak merdeka bersama dengan daerah lain di Indonesia. Masih ada perasaan tokoh Papua yang kurang puas dengan merdekanya Republik Indonesia di wilayah ini.
Setelah Pepera dan keputusan PBB memasukkan wilayah Irian atau kini Papua menjadi Indonesia, sekitar tahun 1962-1963, sejumlah tokoh di Papua mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Maroef mengungkapkan, OPM memiliki banyak faksi. Ada faksi politik di dalam negeri, ada faksi politik di luar negeri, faksi bersenjata yang tersebar di pegunungan dan berbagai tempat di Papua.
Dia mencontohkan faksi politik yang berjuang di luar negeri, salah satunya yang dikenal di kalangan negara-negara pasifik. Gerakan mereka cukup kuat.
Faksi politik di luar negeri juga terpecah-pecah. Ada yang bekerja di kawasan pasifik, Australia, Inggris, Amerika, dan negara lain di Eropa. Di dalam negeri juga memiliki beberapa faksi.
Organisasi Papua Merdeka atau OPM ini tidak hanya bergerak kalangan tua, tetapi kalangan muda.
Mereka berani membawa bendera OPM. Bahkan saat gelar demo di depan Istana Negara di Jakarta.
Faksi-faksi di dalam OPM itu bergerak dengan panglima yang berbeda-beda.
“Ada faksi bersenjata, TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, red) itu ada juga. Itu kalau tidak salah ada 13 Kodap, baik di pegunungan dan kabupaten lainnya. Mereka bekerja sendiri-sendiri. Belum tentu mereka satu pemimpin,” ujarnya.
Kata Maroef, banyaknya tokoh dalam faksi tersebut menjadi salah satu kesulitan dalam bernegosiasi.
“Berbeda dengan Aceh ada tokoh sentralnya, ada tokoh sentralnya, jadi gampang bernegosiasi dengan mereka, kalau sekarang mau bernegosiasi (dengan Papua,red) dengan tokoh yang mana tokoh sentral yang betul-betul jadi panutan mereka,” kata Maroef.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)