RUANGPOLITIK.COM— Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, polemik sistem pemilu yang digunakan masih menjadi kajian dan telaah. Pasalnya, penerapan sistem pemilu diantara keduanya masih menuai kontroversi. Namun hakim konstitusi berharap adanya titik temu diantara sistem ini dengan perpaduan diantara keduanya. Hakim Konstitusi Arief Hidayat melontarkan ide pemilu sistem hybrid.
Ia berharap ada titik temu polemik pemilu proporsional terbuka vs proporsional tertutup di Pemilu 2024. Sebab ada tujuan yang lebih besar yang harus dibangun Indonesia yaitu demokrasi Pancasila.
Menurut Arief Hidayat dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan dilema dalam sistem pemilu terbuka dan tertutup harus diselesaikan.
“Kalau melihat permohonan ini, saya melihat ada dua dilema yang harus diselesaikan. Dilema pertama adalah dalam persoalan terbuka-tertutup ini ada keterbelahan yang sungguh sangat terbelah dari para pemerhati, Pemohon atau Pihak Terkait. Kemudian dilema yang kedua, masalah waktu. Waktunya sudah berjalan, sudah mendekati injury time pelaksanaan Pemilu 2024. Jadi, dua dilema ini harus bersama-sama kita selesaikan, terutama diselesaikan oleh Hakim melalui putusannya,” kata. yang dikutip dari risalah MK, Minggu (9/4/2023).
Arief juga mengatakan bisa saja terjadi perpaduan proporsional terbuka vs proporsional tertutup. Arief mencontohkan sidang pengadilan bisa mencampurkan sidang secara offline dan online.
“Nah, apakah tidak mungkin sistem pemilu yang kita gunakan ini adalah sistem hybrid? Artinya, keunggulan yang baik di sistem terbuka kita pakai, kemudian keunggulan yang terbaik di dalam sistem yang tertutup kita pakai. Kita padukan untuk menjadi sistem politik berdasarkan ideologi Pancasila, berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” urai Arief Hidayat.
Arief mencontohkan sistem proporsional terbuka dipakai untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pileg menggunakan sistem proporsional tertutup. Arief meminta pandangan para ahli yang hadir dalam sidang tersebut.
“Nah, ini semua mestinya harus dibahas dan supaya terbuka di persidangan ini, sehingga Hakim pada waktu memutus kedua dilema tadi, memperhatikan keterbelahan itu yang benar menurut konstitusi, yang benar menurut ideologi itu apa? Apakah betul sistem hybrid atau sistem prismatik itu? Kemudian dari sisi waktu gimana? Dengan berjalannya waktu mau menyongsong Pemilu 2024, apakah ada konstrain waktu ini juga yang harus diperhatikan oleh Para Hakim dalam memutus?” ulasnya.
Menurut Arief, kedua belah pihak menilai sistem tersebut lebih pada tataran praktis di lapangan.
“Jadi, itu saya sebut kalau Prof Mahfud menggunakan sistem prismatik, saya menggunakan sistem hybrid,” tegas Arief Hidayat.
Oleh sebab itu, Arief berharap ada kajian dari para ahli yang lebih mendalam lagi yaitu soal konsep demokrasi Indonesia.
“Coba kita turunkan dari ideologi. Sistem demokrasi Indonesia adalah bukan sistem demokrasi liberal, bukan sistem demokrasi yang komunal, tapi sistem yang harus dibangun di Indonesia adalah sistem demokrasi berdasarkan Pancasila,” ungkap Arief.
Arief melihat ada sengketa antarcaleg dalam satu partai. Bahkan sengketa itu sampai ke MK dan sesama caleg satu partai saling gugat untuk bisa duduk di DPR.
“Apakah ini demokrasi Pancasila? Di antara partai politik, anggota partai politik, sesama anggota partai politik itu, sesama itu, kok lho kok konflik? Kalau konfliknya antarpartai antara partai A dan partai B berebut masalah suara, itu wajar dalam satu demokrasi. Tapi, ini konfliknya adalah antarsesama anggota partai politik harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi,” tutur Arief.
Dalam sidang itu, hakim MK Enny Nurbaningsih menanyakan peran parpol dalam menggembleng kadernya.
“Sejauh mana sesungguhnya partai politik itu kinerjanya di dalam melakukan pendidikan kepartaian kepada para kader- kadernya di situ, sehingga kemudian seolah-olah ada kehilangan, ada sesuatu yang berjarak ya, antara partai politik dengan kemudian kadernya, sehingga seolah-olah para kader itu berdiri sendiri dan partai politik hanya seolah-olah kendaraannya di situ,” tukasnya.
Menjawab pertanyaan Arief Hidayat, ahli hukum tata negara dari UNS Solo, Agus Riewanto menyatakan sah-sah saja membuat sistem hybrid,
“Yang paling mungkin sebetulnya dengan mixer, dengan model mix. Jadi, digabungkan dengan sistem pemiliu mix, yaitu memberi ruang bagi kelompok populer untuk bisa terpilih menjadi calon anggota legislatif. Jadi, di-mix dengan dengan kuota tertentu 30%. Jadi, kalau orang mendapat suara 30%, dia bisa ditetapkah sebagai calon terpilih. Kalau dia tidak ada dalam satu dapil atau urutan itu tidak memenuhi 30%, maka otomatis ditentukan berdasarkan nomor urut,” kata Agus.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)