Pangeran Jayakarta bersemayam di antara makam sanak saudaranya. Persis di sebelahnya pusara anaknya, Pangeran Lahut; cucunya, Pangeran Soeria; keponakannya; Pangeran Shageri beserta istrinya
RUANGPOLITIK.COM —Lantunan selawat terus menggema di bawah rindangnya pohon beringin yang berusia ratusan tahun. Di samping pohon tersebut, bersemayam makam Achmad Jacetra alias Pangeran Jayakarta yang terus didatangi peziarah tanpa henti-hentinya.
Makam itu terletak di Jalan Jatinegara Kaum No 49, Jakarta Timur.
Pangeran Jayakarta bersemayam di antara makam sanak saudaranya. Persis di sebelahnya pusara anaknya, Pangeran Lahut; cucunya, Pangeran Soeria; keponakannya; Pangeran Shageri beserta istrinya.
Tak hanya itu, di atas lahan seluas kurang lebih satu hektare itu bersemayam makam para keluarga Pangeran Jayakarta.
Di dalam kompleks itu pun terdapat Masjid Jami Assalafiyah peninggalan Pangeran Jayakarta yang telah berdiri kokoh sejak tahun 1600-an.
Mengutip dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, dahulunya Jakarta adalah kota pelabuhan yang berada di wilayah Kerajaan Pajajaran bernama Sunda Kelapa.
Setelah berhasil ditaklukkan oleh pasukan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Fatahilah pada 1527, kemudian daerah Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Setelah berhasil ditaklukkan Demak, wilayah Jayakarta diberikan kepada wilayah bawahannya yakni Banten yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Banten.
Saat Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Maulana Hasanuddin, ia memerintahkan orang terdekatnya untuk memimpin wilayah Pelabuhan Jayakarta. Orang suruhan Sultan Maulana Hasanuddin tersebut bernama Pangeran Sungersa Jayawikarta atau dikenal dengan Pangeran Akhmad Jakerta. Setelah lama berkuasa di Jayakarta, Pengaran Akhmad Jakerta memiliki keturunan dan diberi nama Pangeran Jayakarta.
Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa Pangeran Jayakarta adalah anak dari Tubagus Angke dan Ratu Pembayun. Terlepas dari perbedaan pendapat terkait silsilahnya, tetapi yang pasti Pangeran Jayakarta adalah penguasa Jayakarta.
Namun di saat ia berkuasa, VOC sudah mulai menancapkan kekuasaannya di Nusantara, khususnya di Jayakarta. Konflik dan perang antara Pangeran Jayakarta dengan Belanda (VOC) di Jayakarta, berlangsung antara tahun 1610-1619.
Pada awal kedatanganya di Jayakarta, VOC diberikan hak oleh Pangeran Jayakarta, atas tanah di sisi timur muara Sungai Ciliwung. Kemudian daerah yang sepi ini menjelma menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari berbagai daerah.
Konflik terjadi karena VOC menerapkan sistem monopoli perdagangan yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat. Konflik yang berujung perang antara Pangeran Jayakarta dengan VOC, tidak dapat dihindari. Dengan dibantu oleh pasukan dari Banten dan Inggris, Pangeran Jayakarta berhasil mendesak pasukan Belanda, yang mengakibatkan Jenderal Pieterszoon Coen melarikan diri pergi ke Ambon untuk meminta bala bantuan.
Sementara itu, di Jayakarta sendiri, mulai timbul konflik, yakni antara Banten dengan Inggris yang waktu itu sudah memiliki markas di muara sisi Barat Sungai Ciliwung. Konflik Banten dengan Inggris ini akhirnya timbul perang yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta.
Raden Syahrul (42) pria yang mengaku sebagai keturunan ke-13 dari Pangeran Achmad Jacetra, bercerita pada tahun 1619 Jenderal Pieterszoon Coen kembali datang ke Jayakarta.
Perang hebat antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC di bawah pimpinan Jenderal Pieterszoon Coen yang dibantu bala pasukan dari Ambon pun tak terelakan.
Pasukan Coen yang lebih kuat, memaksa Pangeran Jayakarta harus mundur.
“Pada 1619 terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Sehingga, Pangeran Jayakarta menyingkir, keratonnya habis dia menyingkir,” kata Syahrul kepada awak media, Kamis (16/3/2023).
Setelah dipukul mundur oleh Coen, Pangeran Jayakarta bersiasat dengan membuang jubahnya ke sebuah sumur yang kemudian ditemukan oleh VOC. Oleh karenanya, VOC mengira ia telah gugur dalam peperangan.
“Membuang jubahnya ke sumur di daerah Mangga Dua. Dianggap oleh VOC itu Pangeran Jayakarta meninggal di sumur tersebut. Padahal, dia hanya buang jubah,” ujarnya.
Setelahnya, Pangeran Jayakarta hijrah dari wilayah Jakarta Kota ke terusan Danau Sunter yang kini menjadi Jatinegara Kaum dan memulai kehidupan barunya di sana.
“Beliau membawa keluarganya kemudian laskar-laskar Jayakarta yang tersisa. Pada 1620 beliau mendirikan masjid yang menjadi Masjid Jami Assalafiyah Pangeran Jayakarta,” kata dia.
Masjid itu, tak hanya dijadikan sebagai tempat ritual agama semata, melainkan dijadikan tempat perjuangan.
“Ini adalah bagi kita pergerakan untuk membebaskan Jayakarta dari cengkeraman VOC,” ucapnya.
Makam disembunyikan 300 tahun
Setelah terus berjuang melakukan perlawanan terhadap VOC, pada 1640, Pangeran Jayakarta menutup usia. Namun, tidak diketahui secara pasti ia meninggal di usia berapa.
Sebelum dikebumikan, ia menyumpah seluruh sanak saudaranya untuk menyembunyikan makamnya hingga VOC angkat kaki dari Indonesia.
Mengutip dari situs resmi Disdikbud DKI Jakarta, bahkan Pangeran Jayakarta juga melarang keturunannya beraktivitas menggunakan Bahasa Melayu agar tetap menutupi identitas mereka.
“Ini yang hanya tahu adalah para keturunan. Mereka pun, para keturunan ini disumpah oleh keturunan. Jadi, terus turun-menurun mereka dikasih tahu oleh sesepuh, bahwa ini makam Jayakarta tapi jangan diberi tahu pada yang lain,” katanya.
Berselang kurang lebih 316 tahun setelahnya. Tepatnya, pada 1956 barulah makam itu diketahui secara luas sebagai makamnya.
Menurut Dinas Kebudayaan DKI, pengungkapan itu bertepatan dengan peringatan Ulang Tahun ke-429 Kota Jakarta.
Kini, makam itu pun terus ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai macam daerah.
Pesan bagi para peziarah
Syahrul sebagai keturunannya pun mewanti-wanti bagi para peziarah agar meluruskan niatnya datang ke sana.
Ia meminta kepada para peziarah untuk berperilaku sopan dan bertujuan untuk mendoakan Pangeran Jayakarta.
“Kita mengingatkan kalau ada para peziarah yang agak nyeleneh kita ingatkan. Bahwa, tujuan kita di sini mendoakan daripada Jayakarta serta keluarganya. Selain itu, kita menghormati dari jasa-jasa beliau,” ucap Syahrul.
Fenomena ziarah makam merupakan tradisi turun-temurun yang sudah berakar kuat di kalangan umat Islam Nusantara sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang khususnya para wali atau penyebar agama Islam di tanah nusantara.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)