RUANGPOLITIK.COM — Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2), “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yag bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau di luar jalur pengadilan.
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah sengketa transaksi konsumen karena yang terakhir ini berkesan lebih sempit, yang hanya mencakup aspek hukum keperdataan.
Lalu bagaimana dengan sengketa konsumen ? Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan. Sejak semula, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum, atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. Dalam kaitan ini juga disinggung sekilas tentang kemungkinan penyelesaian dalam lingkungan peradilan tata usaha negara dan peran komisi Ombudsman.
Melalui Pengadilan
Kemudian Pasal 45 ayat (3) UUPK menyebutkan, “Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang”. Jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya di bidang administrasi negara.
Konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri dapat juga menggugat pihak lain di lingkungan peradilan tata usaha negara jika terdapat sengketa administratif di dalamnya. Hal yang dikemukakan terakhir ini dapat terjadi, misalnya dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual.
Bahkan, mengingat makin banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, juga tidak tertutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan negara lain sehingga sengketa konsumen inipun dapat bersifat transnasional.
Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah :
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Sistem penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan biaya ringan, merupakan salah satu asas dalam peradilan di Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Sistem penyelesaian yang demikian sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis, termasuk penyelesaian sengketa konsumen.
Walaupun secara teoritis, kebutuhan dunia bisnis tersebut telah diatur dalam perundang-undangan, namun pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan, karena dalam proses peradilan masih ada proses lain yang secara langsung bertentangan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut, yaitu tersedianya upaya hukum terhadap setiap putusan, baik yang merupakan upaya hukum biasa, maupun upaya hukum luar biasa.
Tersedianya upaya hukum terhadap putusan, baik yang merupakan upaya hukum biasa, maupun upaya hukum luar biasa, tentu saja dengan sendirinya akan memperpanjang proses penyelesaian sengketa, sehingga penyelesaian sengketa akan memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal.
Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku sengketa tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang dapat berlangsung cepat dan murah.
Di samping itu, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa.
Hal ini tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa sengketa ke pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya. Di samping itu, secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena :
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buat waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.
2. Biaya per perkara yang mahal. Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.
3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif. Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya. Dengan demikian, timbul kritikan yang menyatakan bahwa hukum menindas orang miskin, tapi orang berduit mengatur hukum.
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengdilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.
5. Kemampuan para hakim yang bersifat general. Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimiliki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas berbagai bidang.
Kalaupun putusan pengadilan akhirnya memenangkan gugatan konsumen, hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi, konsumen harus bersusah payah mengikuti proses peradilan yang rumit, panjang, dan melelahkan. Dalam keadaan seperti ini, alternatif penyelesaian sengketa konsumen merupakan jawaban untuk membantu konsumen dalam menuntut hak-haknya secara cepat, sederhana, dan murah.
Di dasari keinginan untuk memperoleh putusan secara cepat, maka setiap pihak yang berperkara bahkan menginginkan setiap putusan yang dijatuhkan langsung mempunyai kekuatan hukum yang tetap (mempunyai kekuatan hukum eksekutorial), namun di sisi lain menghendaki pula putusan yang seadil-adilnya. Dengan demikian, karena hakim sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan, maka putusan yang lebih adil akan lebih baik jika tidak hanya diperiksa pada satu tingkat saja, melainkan diadakan pemeriksaan ulangan, sehingga untuk itu tepatlah jika disediakan upaya hukum terhadap setiap putusan.
Ketentuan tentang beban pembuktian dalam hukum acara perdata merupakan suatu bagian yang sangat penting dan menentukan dapat tidaknya suatu tuntutan perdata (gugatan) dikabulkan, karena pembebanan pembuktian yang salah oleh hakim dapat mengakibatkan seseorang yang seharusnya memenangkan perkara menjadi pihak yang kalah hanya karena tidak mampu membuktikan suatu yang sebenarnya menjadi haknya.
Sebagai dasar pembebanan pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia, berlaku asas umum beban pembuktian yang terdapat dalam Pasal 163
HIR/283 RBg/1865 BW, yang menentukan bahwa : “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
Apabila asas umum beban pembuktian di atas diterapkan dalam kasus-kasus kerugian konsumen akibat penggunaan produk, maka berarti bahwa baik produsen maupun konsumen dibebani pembuktian. Untuk membuktikan adanya haknya konsumen, maka berdasarkan Pasal 1365 BW, konsumen tersebut harus membuktikan adanya kesalahan produsen yang mengakibatkan kerugiannya. Atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan :
1. Adanya kesalahan/perbuatan melanggar hukum produsen;
2. Adanya kerugian konsumen, dan
3. Adanya hubungan kausal antara kesalahan produsen dengan kerugian konsumen.
Konsumen hanya dibebaskan dari pembuktian yang demikian apabila kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut diakibatkan oleh wanprestasi produsen (Pasal 1244 BW).
Penulis: Benni Rusli
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat
Editor: Syafri Ario
(Rupol)