RUANGPOLITIK.COM — Regulasi yang menetapkan bahwa parpol yang bisa usung capres harus memenuhi ambang batas parlemen sebesar 20 persen ditenggarai mempersulit parpol untuk usung capres sendiri. Sehingga mau tidak mau, parpol harus berkoalisi dengan parpol lain agar mencapai standar tersebut.
Aturan itu dinilai merugikan parpol non parlemen karena tak bisa usung capres pilihannya sendiri. Aksi protes ini juga disampaikan oleh Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). PKN berharap parpol non-Senayan yang berlaga di pemilu bisa mengusung capres 2024. PKN menggugat Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi:
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. PKN meminta pasal 222 UU pemilu diubah.
“Menyatakan pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘untuk partai politik yang disahkan Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta pemilu pada periode pemilu tersebut yang belum memiliki kursi dan belum memiliki suara sah nasional dari pemilu sebelumnya, dinyatakan dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri maupun gabungan partai politik, tanpa persyaratan yang dimaksud dari ketentuan ini’,” demikian bunyi permohonan PKN yang dilansir website MK, Selasa (24/12023).
PKN beralasan pasal 222 yang dikenal dengan pasal presidential threshold itu dinilai tidak demokratis. Sebab pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar serentak pada waktu yang sama. Sehingga parpol non-Senayan yang baru ikut Pemilu 2024 tidak bisa mengusung capres sendiri.
“Susah seharusnya ada perkecualian atau hak kekhususan (lex spesialis) atau metode lain yang dipakai untuk sebuah partai politik peserta pemilu agar tidak kehilangan haknya,” beber permohonan PKN yang ditandatangani Ketum PKN Gede Pasek Suardika.
Untuk diketahui, Pasal 222 sudah digugat berkali-kali dan MK bergeming. Terakhir, PKS meminta agar syarat presidential threshold diturunkan dari 20 persen menjadi 7 persen.
“Menolak gugatan untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan YouTube, Kamis (29/9/2022).
Dalam permohonannya, PKS meminta angka presidential threshold 20 persen agar turun menjadi 7-9 persen. Namun MK menilai tidak berwenang karena hal itu adalah kebijakan politik yang terbuka.
“Menurut MK hal itu bukanlah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas tersebut.”
PKS pun merespons keputusan MK. Mereka mengaku bersyukur dalam pertimbangan putusannya MK mengapresiasi gagasan PT agar berbasis pada kajian ilmiah yang rasional, proprosional dan implementatif.
“Ini harus menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang dalam menentukan angka presidential threshold ke depannya dalam revisi UU Pemilu,” kata kuasa hukum PKS Zainudin Paru kepada wartawan, Kamis (29/9).
Zainudin menyebut pertimbangan itu sudah cukup untuk menjadi bekal di kemudian hari bagi DPR dan pemerintah untuk menentukan angka PT yang rasional berbasis kajian ilmiah, seperti Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP) yang diusulkan oleh PKS dalam permohonnya.
“Kami memahami ketidakberanian MK untuk mengabulkan perkara ini karena tentu akan terjadi perubahan yang besar atau melawan kekuatan yang besar. Dan juga keengganan MK memberi kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pembuktian, sehingga langsung buru-buru diputuskan pasca sidang pemeriksaan pendahuluan,” pungkasnya.
Gugatan syarat Presidential Threshold (PT) 20 persen kerap kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Teranyar, MK menolak gugatan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Gugatan PKS ini teregister dengan nomor 73/PUU-XX/2022. Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsy menjadi pemohon 1 dan dan Ketua Majelis Syura PKS Dr Salim Segaf Aljufri selaku pemohon 2.
PKS adalah partai Senayan pertama yang mengajukan gugatan soal Presidential Threshold.
Aboe Bakar Al Habsy menyampaikan, ada kejutan menarik dari putusan MK Nomor 73/PUU-XX/ 2022. Pertama, MK memberikan legal standing bagi PKS. Padahal, PKS adalah partai yang turut membahas Undang-Undang (UU) Pemilu.
Kedua, MK juga memberikan pesan bagi pembentuk UU untuk menggunakan metode ilmiah dalam penentuan angka PT.
“Terlepas dari bunyi amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak, putusan tersebut telah membuka babak baru bagi pembahasan ini dengan lebih ilmiah,” kata Aboe.
Pengujian ini sebenarnya bukan isu baru di MK. Aboe mencatat, sudah lebih dari 30 kali permohonan diujikan terkait PT baik dalam UUNomor 42 Tahun 2008 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. Hal yang paling sulit ditembus dalam berbagai pengujian terkait PT adalah legal standing atau kedudukan hukum.
Menurut anggota DPR ini, lebih dari 80 persen permohonan terkait dengan angka PT dalam Pasal 222 UUNomor 7 Tahun 2017 dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Problem utamanya, pemohon dianggap tak memiliki hak konstitutional sebagaimana disebutkan Pasal 6 Aayat (2) UUD 1945.
Beberapa pemohon, seperti anggota DPD, Partai Ummat, Partai Solidaritas Indonesia, kader partai, tokoh nasional dan kandidat capres, diputus tidak memiliki legal standing dalam pengujian ini. Sehingga permohonan tidak diterima.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)