RUANGPOLITIK.COM— PDIP menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang ingin pemilu dilakukan dengan sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengklaim sikap partainya sesuai dengan UUD 1945 bahwa peserta pemilu adalah partai politik, bukan calon anggota legislatif.
“Bagi PDIP kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan bahwa berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol,” kata dia di kantor pusat DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1).
Menanggapi polemik yang sedang jadi bola panas ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) turut memberikan kritik kerasnya. Menurut ICW, sistem proporsional tertutup bisa membelenggu hak rakyat.
“Polemik sistem pemilu proporsional tertutup: upaya belenggu hak rakyat dan ruang gelap politik uang,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Selasa (24/1/2023).
ICW membeberkan sejumlah alasan. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif.
“Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik,” kata Kurnia.
Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.
“Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu,” beber Kurnia.
Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat.
“Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik. Bisa dibayangkan, masih dalam tahap pencalonan saja, proses penjaringan calon anggota legislatif terbilang sangat tertutup,” ungkap Kurnia.
Atas dasar itu, kata Kurnia, tak heran jika kemudian pada tahun 2019 lalu mereka secara serampangan mengusung 72 calon anggota legislatif yang sebelumnya pernah menyandang status sebagai narapidana korupsi.
“Dengan logika yang sama, tentu sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)