RUANGPOLITIK.COM— Ketua Pansus RUU Pemilu No 7 Tahun 2017 Lukman Edy, ikut bersuara tentang kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke Sistim Proporsional Tertutup atau coblos partai. Menurut politisi senior itu, usulan kembali ke sistim coblos partai bisa saja terjadi, karena tidak menyalahi Undang-undang Dasar 1945.
“Mau terbuka dan tertutup itu sama-sama tidak menyalahi UUD, karena kalau tertutup itu melanggar UUD, produk-produk yang dulu berarti juga salah,” ujarnya ketika berbincang dengan RuPol di Jakarta Selatan, Selasa (17/01/2023).
Jika tidak menyalahi UUD, maka tidak tertutup kemungkinan sistim itu kembali dipakai jika memang situasi dan kondisi membutuhkan.
Menanggapi polemik ini, pengamat politik dari Citra Institute, Efriza kepada RuPol, Kamis (19/1/2023) mengatakan pilihan sistem mekanisme pemilu karena adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi yang dianggap lebih kepada bentuk diskursus politik.
“Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup, keduanya hanya sebuah pilihan saja. Sekarang ini ramai, hanya sekadar diskursus menanggapi adanya judicial review di Mahkamah Konstitusi, ” jelas Efriza.
Diskursus antar partai politik di parlemen yang telah membelah menjadi dua kubu, 8 partai ingin tetap sistem proporsional terbuka dan satu partai ini sistem proporsional tertutup, ini adalah upaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan MK, nantinya hakim-hakim MK turut mempertimbangkan suara Mayoritas partai di parlemen.
“MK utamanya akan mempelajari gugatan pemohon, fakta dipersidangan, dan juga keputusan MK sebelumnya yang telah menghadirkan sistem proporsional terbuka dari nomor urut. Diyakini situasi politik di luar gedung mahkamah dengan adanya diskursus itu turut menjadi pertimbangan MK,” ulasnya.
Ia melihat peluang untuk kembali ke dalam sistem coblos partai dengan sistem proporsional tertutup, hanya dapat terjadi di MK. Akan tetapi dengan adanya suara mayoritas dan kesepakatan delapan partai politik, tentunya para Hakim MK sedang berada dalam tekanan. Ditenggarai keputusan MK jika kembali ke sistem proporsional tertutup tak akan bulat akan ada dissenting opinion, pendapat berbeda, yang akan berbeda kuat dugaan adalah Saldi Isra, jika mempelajari rekam jejak tulisan dan komentarnya sebelum jadi hakim MK.
Perdebatan mengenai kedua sistem ini, memiliki dua elemen dasarnya. Sistem proporsional tertutup telah menyingkirkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Sedangkan proporsional terbuka rakyat bukan sekadar pemilih semata tetapi kedaulatan rakyat di atas kedaulatan partai.
“Tampaknya keputusan tentang meminta kembali diterapkannya sistem proporsional tertutup, disinyalir kecenderungan terbesar akan ditolak oleh MK. Sebab MK dalam keputusannya bukan sekadar menyandarkan kepada menjaga konstitusi semata, tetapi juga adanya mempertimbangkan kondisi perpolitikan negara. Keputusan MK bernuansa politik memang amat memungkinkan, ini tampak dari keputusan presidential threshold yang selalu ditolak oleh MK dengan alasan kebijakan politik yang terbuka. Artinya MK bisa bersandar kepada konsistensi keputusan MK sebelumnya, dan juga bisa menyatakan itu berada kepada kewenangan para pembentuk undang-undang,” ucap Efriza dalam analisanya.
Jika disandarkan kepada keputusan itu adalah wewenang para pembentuk undang-undang, maka juga dapat ditafsirkan adanya keputusan MK disadari karena nuansa politiknya. Pertimbangan pernyataan delapan partai turut memengaruhi dasar itu, artinya jika gagal di MK maka tak memungkinkan juga revisi undang-undang di parlemen.
Jika alasan yang digunakan oleh PDIP yang mencuat tentang keterpilihan calon anggota legislatif yang lebih banyak bukanlah kader partai. Jika perdebatan ini hadir di persidangan di MK, disinyalir malah akan menyudutkan partai politik yang semestinya berperan dalam fungsinya rekrutmen dan pendidikan politik. Patut diingat MK adalah penjaga konstitusi, para hakim MK adalah sosok yang amat memahami ketatanegaraan, sehingga mereka malah akan menyalahkan pola pikir kader partai. Bisa saja poin ini hadir dalam rincian keputusan MK.
Dalam uji materi di MK nanti, Efriza tak memungkiri akan adanya intervensi kepada hakim MK dari pihak penguasa yang merasa berkepentingan untuk bisa meloloskan sistem coblos parpol ini.
“Namun intervensi terhadap hakim MK amat terbuka, jika itu terjadi tentu saja yang melakukannya adalah pemerintah, sebab mayoritas DPR menolaknya. Meski begitu upaya intervensi dari pemerintah akan menyurut dilakukan sebab risikonya amat besar, cap sebagai pemerintah otoriter akan disematkan. Intervensi diyakini akan ciut, jika mayoritas partai politik, civil society, dan masyarakat sebagai pemilih menolaknya,” ungkap dosen ilmu pemerintahan ini.
Meski begitu, sekali lagi diungkapkan bahwa kemungkinan dissenting opinion amat mungkin terjadi, namun umumnya masih bersifat rasional dari perbedaan pendapat hakim MK tersebut.
Jadi saat ini Partai-partai si parlemen hanya bisa mewarnai perdebatan di publik atas kedua sistem proporsional tersebut. Agar Hakim MK dapat turut terpengaruh, jadi “perangnya” lebih kepada perdebatan antar kedua sistem itu baik dan buruk. Itu tentu saja menguntungkan para hakim MK untuk mempelajari situasi kenegaraan dan sistem itu sendiri.
Sementara, Pemerintah diyakini akan perlahan menarik diri dari perdebatan, sebab pemerintah yang rentan menerima respons negatif, memperoleh cap otoriter jika ikut campur terlalu dalam urusan keterpilihan anggota legislatif.
“Jadi kesimpulannya sepertinya sistem ini akan tetap dipertahankan oleh Hakim MK dengan menyatakan keputusannya menolak, dengan didasari dari rangkaian pernyataan keputusannya yang bernuansa politik bahwa kebijakan itu bersifat politik yang terbuka, artinya dikembalikan keputusan antara legislatif dan eksekutif, ” prediksi Efriza.
Jika seperti itu, maka PDIP dan Pemerintah kecil kemungkinan memaksakan kembali, sebab Perppu pemilu sudah dihadirkan untuk mengakomodir nomor urut, rasanya tak akan mungkin ada Perppu kembali. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)