RUANGPOLITIK.COM— Presiden Joko Widodo resmi mencabut aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun, dipastikan status kedaruratan kesehatan tidak ikut dicabut, masih mengikuti aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”PPKM dicabut mulai hari ini, nanti Mendagri akan menerbitkan instruksi Inmen dan untuk status darurat tidak dicabut karena pandemi,” terang Jokowi, dalam konferensi pers Jumat (30/12/2022).
”(Pandemi) belum berakhir sepenuhnya, dan pandemi ini sifatnya bukan per negara tapi sudah dunia sehingga status kedaruratan,” sambung dia.
Artinya, dengan dicabutnya PPKM, Indonesia bukan berarti keluar dari pandemi COVID-19. Pemerintah tetap memantau perkembangan kasus COVID-19 ke depan.
Oleh karenanya, sejumlah aturan masih berlaku terkait protokol kesehatan dengan beberapa penyesuaian. Di antaranya tercantum dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Irmendagri) No 53 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Pengendalian CORONA Virus Disease 2019 pada Masa Transisi Menuju Endemi.
1. Penggunaan masker
Setelah PPKM dicabut, masker tetap harus dikenakan dengan benar terutama pada 4 kondisi berikut:
Pada kerumunan dan keramaian aktivitas masyarakat. Di dalam gedung/ruangan tertutup dan sempit, termasuk di transportasi publik
Saat seseorang mengalami gejala penyakit pernapasan (batuk, pilik, dan/atau bersin)
Saat mengalami kontak erat atau terkonfirmasi mengidap COVID-19.
2. Cuci tangan
Anjuran untuk selalu mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer masih berlaku.
3. PeduliLindungi
Aplikasi PeduliLindungi masih tetap digunakan untuk memasuki dan menggunakan fasilitas publik, termasuk bagi pelaku perjalanan dalam negeri yang akan menggunakan transportasi publik.
4. Testing
Masyarakat tetap didorong untuk melakukan pemeriksaan atau testing jika bergejala. Demikian juga jika mengalami kontak erat dengan kasus terkonfirmasi COVID-19.
5. Vaksinasi
Meski COVID-19 relatif mulai terkendali, vaksinasi terutama booster tetap dianjurkan. Sejauh ini, vaksinasi masih tersedia secara gratis sesuai ketentuan yang berlaku.
Pencabutan PPKM mendapat reaksi yang beragam, bahkan di kalangan pakar. Menurut epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman. Pencabutan PPKM lebih didasari alasan politis dan ekonomis mengingat sebenarnya cakupan vaksinasi booster masih rendah.
“Situasi kan masih pandemi di tengah masih minimnya cakupan vaksinasi booster, bahkan kalau bicara kelompok rawan seperti lansia. Booster kedua itu di 1 persenan loh booster pertama 30 persenan,” kata Dicky, Kamis (30/12).
“Ditambah lagi anak-anak yang belum divaksin di bawah 5 tahun. Cakupan vaksin primer 6-12 tahun yang juga belum mencapai target,” ucapnya.
Menurut Dicky, mitigasi harus dilakukan terkait pencabutan PPKM, mengingat WHO masih menganjurkan adanya Public Health Social Measure (PHSM). Artinya, risiko penularan COVID-19 masih ada.
“Nah, artinya jika itu dicabut, sedangkan kita masih pandemi, ini udah lihat belum kesiapan di masyarakat atau pemerintah sendiri dalam aspek-aspek dari PHSM atau dari PPKM itu?” tutur Dicky.
Pencabutan PPKM mendapat reaksi yang beragam, bahkan di kalangan pakar Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menyambut baik kebijakan tersebut dan menganggapnya sebagai kado tahun baru.
Menurut Pandu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait risiko penularan di musim Natal dan Tahun Baru (Nataru). Sebelumnya, berbagai pembatasan memang diperketat menjelang musim liburan.
“Itu kan dulu, ketika penduduk belum memiliki imunitas,” kata Pandu.
“Ketika penduduk sudah memiliki imunitas yang tinggi, PPKM sudah tidak relevan lagi,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)