Baik Pasal 218 dan 219 ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan secara tertulis oleh Presiden dan atau Wakil Presiden
RUANGPOLITIK.COM —Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan masih tercantum.
Meski mendapat banyak kritikan, pemerintah tampaknya tetap memasukkan pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut.
Hal itu terlihat dalam Pasal 218 yang mengatur mengenai Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan atau Wakil Presiden.
“Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta),” kata ayat (1) Pasal 218.
“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,” ucap ayat (2) menambahkan.
Sedangkan bagi penghina Presiden dan Wakil Presiden yang menyebarkan ujaran atau kontennya ke media sosial, mendapat ancaman hukuman penjara lebih lama.
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV,” tutur Pasal 219.
Baik Pasal 218 dan 219 ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan secara tertulis oleh Presiden dan atau Wakil Presiden.
“Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah,” ucap penjelasan Pasal 218 ayat (1).
Sedangkan yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” dalam ayat (2) adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan atau Wakil Presiden.
“Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan atau Wakil Presiden,” ujar penjelasan tersebut.
“Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,” ucapnya menambahkan.
Sebelumnya, pengesahan RKUHP dilakukan dalam masa sidang Rapat Paripurna DPR ke-11 yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
“Untuk itu, selanjutnya saya menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang, apakah RUU KUHP dapat disetujui menjadi UU?” katanya.
“Setuju,” jawab seluruh fraksi yang setuju dalam sidang Rapat Paripurna tersebut.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)