RUANGPOLITIK.COM — Genderang perang seperti tengah bertabuh di kubu internal PDI-Perjuangan. Partai besar yang dinakhodai oleh Megawati Soekarnoputri ini ditenggarai sedang mengalami gesekan di internal. Perseteruan bermula dari gagalnya Puan Maharani maju dalam Pilpres 2014 lalu, dimana akhirnya PDI-P mengusung Joko Widodo yang populer di akar rumput.
Ganjalan tak masuk dalam bursa capres sebelumnya ini ditenggarai sebagai pemicu pergesekan di internal PDI-P yang kini mengarah ke Ganjar Pranowo. Kader PDI-P yang memiliki pesona sama seperti Jokowi. Dan kembali Puan Maharani merasa kalah pamor dengan Ganjar.
Bahkan santer isu yang berkembang jika Jokowi lebih ingin kursi capres milik Ganjar. Membaca fenomena intrik di kubu PDI-P ini, pengamat politik sekaligus akademisi Efriza saat dihubungi RuPol.com mengatakan penyebab ini karena mekanisme di tubuh internal PDI-P yang tidak jelas. Dan keputusan lebih terpusat ke Megawati sebagai Ketua Umum.
“Sebenarnya ini lebih disebabkan karena tidak adanya fair play, dan keadilan. PDI-P tidak punya mekanisme penentuan awal dibalik layar misalnya siapa yang akan diusung. Sehingga tidak ada mekanisme berlomba-lomba untuk meraih popularitas dan elektabilitas,” jelas Efriza.
Menurut Efriza semua berlindung dibalik keputusan akhir Megawati Soekarnoputri. Jadi persaingannya sengit, cenderung mengarah ke ricuh. Persaingan ini cenderung tidak baik. Sebab, PDI-P larut dalam perdebatan mengenai siapa calon, tetapi melupakan visi-misi yang semestinya juga ditonjolkan oleh calon yang bersaing.
“Pengabaian ini terlihat di sengaja, sehingga PDI-P asyik bicara calon, tapi mengesampingkan visi-misi dan program kerjanya. Amat disayangkan, riuh-rendah pencapresan hanya soal nama, yang misteri juga karena keputusan ditangan Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDI-P,” ulasnya.
Efriza berpendapat jika sosok Megawati sebagai pengambi keputusan tunggal, bukan otoriter. Melainkan kesepakatan PDI-P untuk keputusan penting seperti nama calon presiden atau pasangan calon presiden maupun koalisi, berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri semata.
“Pesona Megawati tidak hilang. Hanya saja, ambisi Puan, para pendukung Puan, sudah teramat terobsesi, juga putus asa, sehingga cenderung mengupayakan apa saja, seperti komunikasi melabeli Puan dengan bahasa ‘Teh Botol Puan’, ‘Dewan Kolonel’ bahkan sampai melabeli orang-orang misal dianggap pendukung Ganjar dan juga Ganjarnya sendiri dengan tidak diundang di acara resmi partai di daerah seperti di Jawa Tengah,” jelas Efriza.
Menurutnya kehadiran Dewan Kolonel tentu saja buruk bagi citra PDI-P. Sebab ini partai bukan institusi militer. Dan, Dewan Kolonel malah memberikan persepsi buruk kepada PDI-P, mengingatkan kepada masa Orde Lama dengan isu Dewan Jenderal, dan turut mengingatkan periode kelam PKI.
“Puan disinyalir sedang melakukan tekanan politik kepada Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum dan yang juga adalah Ibunya. Puan sepertinya sudah ngebet ingin nyapres, apalagi 2014 ada keinginan dihatinya tapi saat itu ia mengalah dan kalah, karena rekam jejak karirnya kurang kuat saat itu, hanya sebagai anggota DPR semata misalnya. Ia kalah popularitas dan elektabilitas dengan Joko Widodo kala itu,” jelasnya.
Dan kali ini sikap DPP PDI-P yang memberikan teguran tegas kepada Dewan Kolonel, Ganjar dan FX Rudi yang melangkahi kebijakan partai dengan berbicara pencapresan dianggap sebuah langkah yang multi tafsir.
“Dewan kolonel dapat dipersepsikan negatif seperti alat menekan melalui komando para komandan dilapangan, jadi ini seolah-olah alat tekanan politik, jika tak ingin dianggap ‘kudeta’, sebab memang tak akan sampai melakukan kudeta. Ini persaingan sengit semata. Puan dan pendukungnya sedang menekan Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDI-P yang juga sosok ibunya,” ucapnya.
Persaingan sengit saat ini. Terjadi antara sesama kader, namun beda derajatnya. Ganjar adalah kader internal yang tidaklah istimewa. Dan harus bertarung dengan Puan Maharani anak biologis dari ketua umum dan juga trah Soekarno.
Disaat yang sama ternyata Puan Maharani yang elite PDI-P dan juga Ketua DPP PDI-P bidang politiknya, sedangkan Ganjar hanya anggota internalnya dengan embel jabatan Gubernur Jawa Tengah. Dalam elektabilitas anggota internal PDI-P pilihannya sangat tinggi kepada Ganjar, sedangkan Puan Maharani hanya sekitar 4-10 persen dalam kalkulasi kasar, itu juga hanya dikalangan pejabat besar partai saja, yang takut jabatannya hilang.
“Jadi sisi Megawati sangat berat menciptakan keadilan untuk merebut suara rakyat menentukan capres antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo, disisi lain tidak adanya kepastian siapa sebenarnya yang diusung PDI-P, bisa saja bukan diantara keduanya, pertarungan ini selalu dibungkus dengan pernyataan keputusan terakhir di tangan Megawati. Inilah yang akhirnya turut menciptakan persepsi di masyarakat, pesona Megawati luntur,” imbuhnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati