Oleh: Dr. Sholeh Basyari, M.Phil
RUANGPOLITIK.COM – Rangkaian peristiwa politik dan argumentasi sarat makna, terjadi dalam beberapa hari terakhir. Diawali dari munculnya berbagai dukungan partai politik (parpol) ke Ganjar Pranowo, mulai dari PSI, PAN dan PPP walau belum secara resmi, kecuali PSI yang bukan partai parlemen.
Kemudian diikuti oleh pernyataan kesanggupan sebagai calon presiden (capres) oleh Ganjar Pranowo, yang menjadi sorotan media. Berlanjut dengan adanya permintaan Presiden Jokowi yang meminta Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk segera mendeklarasikan capresnya, pada acara Peringatan Ultah ke-58 Partai Golkar.
Yang terbaru adalah sanksi dari DPP PDIP kepada Ganjar Pranowo, terkait pernyataan kesiapan untuk capres. Peristiwa-peristiwa itu bergulir dengan cepat, yang tentu saja menyedot perhatian publik.
Benang merah dari semua peristiwa tersebut, yakni kedekatan Presiden Jokowi dengan Ganjar Pranowo. Sudah menjadi pemahaman umum juga bahwa sosok yang sangat ‘diinginkan’ sebagai penerus estafet kepemimpinannya di periode 2024-2029.
Jokowi memiliki kepentingan besar terhadap keberlangsungan beberapa program, setelah masa jabatannya berakhir, seperti pembangunan IKN dan infrastruktur. Oleh karena itu, tidak mungkin Jokowi tidak menyiapkan strategi untuk itu. Saat ini Ganjar Pranowo adalah sosok yang berada pada list teratas, walau masih ada nama Erick Thohir dan mungkin saja Prabowo Subianto.
Jokowi akan memperjuangkan list paling atas itu, tetapi tentu tidak mudah karena sistim pemilu di Indonesia, penyedia tiket adalah partai politik, yang dipersempit lagi dengan Presidential Threshold yang sangat tinggi, yakni 20 persen kursi parlemen. Sehingga hanya PDIP lah yang bisa mengusung sendiri, sisanya harus berkoalisi untuk mencapai ambang batas tersebut.
Akan menjadi mudah sebenarnya, karena Jokowi sebagai ‘Petugas Partai’ PDIP selaras dengan Ganjar yang juga kader PDIP. Tetapi petugas partai tentunya tidak memiliki kekuasaan seperti ‘Owner Partai’, yang dalam hal ini adalah Megawati Sukarnoputri.
Jokowi memerlukan pendekatan dan komunikasi yang indepth dengan Megawati untuk mengendorse Ganjar, walau kemungkinan berhasilnya sangat tipis mengingat ada juga sosok Puan Maharani, yang merupakan Co-Owner di PDIP.
Sulit untuk menepikan Puan pada pilpres saat ini, karena faktor kesempatan dan usia Puan yang sedang pas-pas nya untuk mencalonkan diri.
Jika Puan menepi dan memberi jalan ke Ganjar, maka ada kemungkinan dia harus menunggu 10 tahun lagi dan asumsi Ganjar menang di Pilpres 2024. 10 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk, sementara usia kian bertambah.
Jokowi pun pasti sangat menyadari sulitnya mendorong Ganjar dari PDIP, dan itu sudah berkali-kali dicoba, hasilnya mental. Terakhir, Ganjar malah mendapat sanksi dari PDIP karena pernyataannya yang siap untuk dicalonkan.
Opsi lain juga sudah disiapkan oleh Jokowi, yakni melalui Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang juga bukan rahasia umum lagi peran Jokowi dalam membentuk koalisi yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP itu.
Melalui koalisi itu, Jokowi berharap dan bergerak untuk memuluskan langkah Ganjar. Kita lihat akhir-akhir ini, banyak suara-suara dari PAN dan PPP yang mengusung Ganjar, walau belum resmi.
Kecuali Golkar yang masih tetap mencoba peluang Airlangga, PAN dan PPP sendiri sebenarnya tidak terlalu lekat dengan Ganjar.
Berdasarkan hasil survey, pemilih PAN masih banyak yang lebih sehaluan dengan Anies Baswedan. Begitu juga dengan PPP, suaranya juga terpecah antara Ganjar dan Anies.
Namun jika Jokowi dengan ‘kemampuan dan ‘pressurenya’ berhasil memasukkan nama Ganjar, bukan berarti langkah Ganjar akan mulus untuk menjadi presiden.
Pada Peringatan Ultah ke-58 Golkar, Hari Sabtu (22/10) kemarin, Jokowi secara terbuka meminta kepada Golkar, PAN dan PPP untuk segera mengumumkan capres dan cawapresnya.
Tentunya, sosok yang diinginkan adalah Ganjar Pranowo dengan cawapresnya bisa Airlangga Hartarto atau mungkin Erick Thohir yang juga disebut-sebut sudah disiapkan oleh Jokowi.
Permintaan Jokowi itu pasti saja tidak akan mudah untuk langsung diamini oleh KIB, terutama Golkar yang merupakan partai yang sarat pengalaman.
Golkar, PAN dan PPP akan berhitung lebih matang, terutama untuk potensi kemenangan. Ganjar tanpa PDIP, sudah pasti tak akan sekuat dengan dukungan PDIP. Kekuatan Ganjar akan menjadi berkurang mungkin sampai separuh, kalau tanpa dukungan PDIP.
Sebagai ‘pimpinan’ koalisi, Ketum Golkar Airlangga Hartarto sudah mencoba memastikan soal dukungan PDIP ini. Airlangga setidaknya sudah dua kali bertemu Megawati, tentu saja membawa opsi bergabungnya KIB dengan PDIP untuk mendukung opsi Ganjar-Airlangga.
Kalau secara kasat mata sepertinya upaya itu belum mendapat lampu hijau dari Megawati.
Prabowo-Erick Paling Rasional Bagi Jokowi
Sampai saat ini, Jokowi sangat menyadari kesulitan-kesulitan untuk mengusung Ganjar, walau waktu masih panjang dan dinamika terus bergulir. Yang jelas, pasti ada ‘Plan B’ yang sudah dipersiapkan. Untuk saat ini kemungkinan besar adalah mendorong Prabowo Subianto.
Walau tidak segahar Ganjar jika didukung PDIP, elektabilitas Prabowo juga tidak jelek-jelek amat. Prabowo sampai setakad ini masih bertengger di tiga besar survey lembaga manapun, namun banyak pengamat mengatakan elektabilitas Prabowo cenderung stagnan, bahkan mengalami penurunan.
Bagi Jokowi, mengendorse Prabowo jelas lebih mudah, karena Prabowo merupakan Ketum Gerindra yang merupakan partai nomor 3 terbesar di parlemen.
Kekurangan elektabilitas Prabowo, tinggal ditambal dengan mencari cawapres yang bisa membawa elektoral lebih. Untuk ini, yang paling memungkinkan dan paling dilirik adalah warga NU sebagi Ormas Keagamaan terbesar di Indonesia.
Masa-masa bulan madu Jokowi dengan NU masih ada, bahkan kian mesra. Akan sangat berpengaruh besar jika Jokowi langsung yang memilih cawapres untuk Prabowo dari kalangan NU.
Ada beberapa nama yang sudah siap ‘mewakili’ NU, sebut saja Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, Erick Thohir dan Mahfud MD. Semuanya memiliki sejarah kedekatan dengan Jokowi.
Dari nama-nama itu, tentu yang paling berpeluang adalah Muhaimin Iskandar, karena posisinya saat ini sebagai Ketum PKB. Dengan koalisi yang sudah terjalin antara Gerindra dengan PKB, maka menduetkan Prabowo dengan Muhaimin sepertinya semudah membalik telapak tangan.
Tetapi tunggu dulu, kalau memang semudah itu, kenapa sampai saat ini Koalisi Gerindra-PKB terlihat masih gamang?. Ada beban yang sangat besar yang dibawa oleh Muhaimin, yakni elektabilitas yang sangat rendah. Serta membawa beban hubungan yang buruk dengan Struktural PBNU dan Kelompok Gusdurian.
Bagaimana bisa berharap suara warga NU bisa mendongkrak Prabowo, jika Muhaimin sendiri memiliki masalah dengan 2 instrumen terbesar di NU tersebut.
Hitung-hitungan Jokowi jelas, jika ingin Prabowo menang maka wakilnya harus harga mati dari kalangan NU atau yang bisa mewakili NU. Jika bicara warga NU, pasti itu adalah domainnya PBNU yang saat ini dipimpin oleh Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Ini juga sebuah pilihan, tetapi Gus Yahya sudah terlebih dahulu menyatakan tidak akan ikut dalam kontestasi pilpres. Sebuah komitmen ketika mau maju sebagai Ketum PBNU, yang sampai sekarang masih diulang-ulang.
Baca juga:
Csiis-prabowo-jokowi-menguat-prabowo-muhaimin-menguap
Ada satu nama yang sangat berpeluang, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir. Walau tidak dikenal sebagai NU Kultural, tapi Erick memiliki kedekatan yang sangat dalam dengan NU, khususnya PBNU dan turunannya seperti GP Ansor dan Banser.
Sebenarnya nama Erick bukanlah nama alternatif, Erick sudah sejak lama diketahui sebagai salah satu menteri kesayangan Jokowi yang juga dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Erick memiliki beberapa kelebihan, yang utama tentunya dukungan langsung dari Presiden Jokowi. Kemudian Erick sudah menjadi bagian dari keluarga besar NU, bahkan untuk Peringatan Harlah NU 2023, Erick menjadi sosok terpenting yakni sebagai Ketua Pengarah (SC).
Erick juga tidak memiliki resistensi dengan kelompok Gusdurian, bahkan cenderung memiliki sejarah keakraban. Elektabilitasnya juga sangat mumpuni untuk posisi cawapres, dimana selalu berada pada 4 besar bersama Ridwan Kamil, Sandiaga Uni dan Agus Harimurti Yudoyono.
Jangan lupa, Erick memiliki sumberdaya ‘amunisi’ yang kata beberapa pengamat bisa tidak terbatas. Hanya satu kekurangan yang dimiliki sosok kepercayaan Jokowi itu, yakni tidak memiliki partai pengusung.
Walau beberapa waktu terakhir, kita lihat Erick sudah mencoba menjalin komunikasi dengan beberapa partai, seperti PAN dan PPP. Tetapi jika ingin memaksimalkan suara dari kalangan Nahdliyin, mau tidak mau PKB harus ikut dalam gerbong pengusung. Sesuatu yang terlihat sulit, mengingat PKB sepertinya sudah solid untuk mengusung Muhaimin Iskandar.
Namun disinilah peran Jokowi sebagai King Maker, yang memiliki potensi ‘komunikasi’ lebih kuat dan terukur. Apalagi Muhaimin adalah seorang yang sangat bisa diajak untuk berkomunikasi, terutama dalam hal usung-mengusung capres dan cawapres.
Terbukti, Pilpres 2014 dan 2019 Muhaimin bersedia memberikan jalan bagi Jusuf Kalla dan Ma’ruf Amin, dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Walaupun pada dua kali gelaran pilpres itu, dia juga sudah pasang ancang-ancang untuk ikut dalam kontestasi.
Mengingat hubungan panjang antara Jokowi dengan Muhaimin itu, maka terwujudnya pasangan Prabowo-Erick Thohir jelas lebih terbuka. Bahkan kata sebagian pengamat, Jokowi tinggal panggil Muhaimin dan minta baik-baik untuk mengusung Prabowo-Erick, selesai sudah.
Muhaimin akan kembali membawa PKB sebagai partai penentu kemenangan, layaknya pada empat kali gelaran pemilu sebelumnya. Tetapi walaupun mudah, Jokowi harus memaksa Gerindra dan PKB untuk mewujudkan pasangan itu dalam waktu dekat dan tidak bisa ditunda-tunda.
Seiring dengan berjalannya waktu, sisa masa kekuasaan Jokowi akan semakin berkurang dan dengan sendirinya ‘power’nya juga akan melemah. Mumpung saat ini masih kuat, Jokowi harus mengoptimalkan kesempatan untuk menjadi King Maker seutuhnya untuk Pilpres 2024.
Penulis:
Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)