RUANGPOLITIK.COM — Setiap kali roda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan menggelinding, wacana mengembalikan sistem pemilihan melalui DPRD kembali mengemuka. Wacana tersebut selalu menimbulkan pro kontra dan perlu evaluasi demi terwujudnya pilkada yang jujur dan adil namun untuk pelaksanaan Pilkada tahun 2024 mendatang Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mengatakan pemilihan tetap dilakukan secara langsung. Pernyataan ini ia sampaikan dihadapan wartawan Rabu (12/10) di Jakarta.
“Untuk tahun 2024 pasti tetap pemilihan langsung. Tetap, tidak ada perubahan. Itu enggak mungkin ada perubahan. Tahun 2024 pilkada langsung itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin diutak-atik lagi,” kata Yandri kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Yandri menyebut wacana pilkada lewat DPRD perlu dikaji ulang. Menurutnya, Wantimpres saat itu hanya mendiskusikan masalah pilkada langsung. Sebelumnya, wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada lewat DPRD kembali hidup. Perdebatan wacana pilkada tak langsung ini sudah berjalan cukup lama.
Kini, wacana pilkada lewat DPRD itu kembali mencuat dalam pertemuan pimpinan MPR RI dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Yandri kemudian menyinggung money politics atau politik uang dalam pilkada langsung. Dia menyebut pilkada langsung mengeluarkan biaya yang sangat tinggi.
“Dulu kita anggap pilkada langsung itu kan biayanya rendah, ternyata sangat mahal sekarang. Terus tidak ada money politics, ternyata kan money politics semua sekarang,” ujarnya.
Yandri menilai harus ada kajian lebih mendalam terkait pelaksanaan pilkada langsung maupun pilkada lewat DPRD. Meski demikian, dia memastikan Pilkada 2024 tetap digelar dengan mekanisme pemilihan langsung.
Untuk itu Yandri berpendapat ruang diskusi itu tidak boleh ditutup karena sudah hampir 20 tahun pilkada langsung tentu sudah banyak bisa lihat fakta yang terjadi antara mudharat dan manfaatnya. Dari situ bisa ditarik diskusi yang sifatnya saling memberi solusi, pihak-pihak yang tetap bertahan pilkada langsung apa solusi untuk mengatasi persoalan tadi.
“Kemudian yang mau ke DPRD kenapa alasannya mau kembali ke DPRD. Jadi gapapa ruang itu kita buka, tapi untuk tahun 2024 itu tetap pilkada langsung,” tambahnya.
Pilkada Langsung Rentan “Money Politics”
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo beserta pimpinan MPR sempat membahas sejumlah hal saat bertemu dengan Wantimpres. Salah satu yang dibahas yakni wacana agar pilkada dikembalikan lewat DPRD. Bamsoet membeberkan MPR RI dan Wantimpres menilai perlunya kajian mendalam dengan melibatkan berbagai pakar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi dan kelompok terkait lainnya untuk mengkaji sejauh mana pelaksanaan Pilkada langsung memberikan manfaat kepada rakyat.
“Namun bukan berarti kajian mendalam terhadap pelaksanaan pilkada langsung tidak boleh dilakukan. Mengingat menurut pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945, gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” kata Bamsoet kepada wartawan.
Bamsoet lalu menyinggung wacana pilkada secara tidak langsung oleh DPRD di akhir masa pemerintahan Presiden SBY. Bamsoet juga menyinggung disertasi tentang pilkada langsung dan kaitannya terhadap korupsi.
Ia mengatakan di akhir masa masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah pernah menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat UU No 22/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Ia berpendapat langkah mengembalikan Pilkada melalui DPRD sah dilakukan. Sebab, menurut dia, proses itu tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila. Politikus Golkar itu mengaku khawatir dengan penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat yang menurutnya justru semakin menyengsarakan kehidupan rakyat karena ruang korupsi semakin terbuka.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mewanti-wanti praktik politik dagang sapi yang bisa muncul andai penyelenggaraan Pilkada dikembalikan ke DPRD. Menurut dia, dalih Pilkada langsung yang saat ini diterapkan memunculkan praktik korupsi di daerah belum bisa dibuktikan. Selain itu, Pilkada lewat DPRD juga tak menjamin akan bebas dari transaksional.
“Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politics? Jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi, money politics di situ bukan lagi put buying, tapi lebih kepada dagang sapi,” ucap Saan.
Pada pertemuan itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengaitkan pemilihan kepala daerah langsung dengan korupsi. Dia mengklaim pemilihan langsung membuka ruang korupsi bagi kepala daerah.
“Mengembalikan pemilihan melalui DPRD, juga sebenarnya demokratis, karena sesuai dengan semangat sila keempat Pancasila,” ucap Bamsoet usai pertemuan kemarin.
Wacana pilkada lewat DPRD itu kembali mencuat dalam pertemuan pimpinan MPR RI dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo beserta pimpinan MPR sempat membahas sejumlah hal saat bertemu dengan Wantimpres. Salah satu yang dibahas yakni wacana agar pilkada dikembalikan lewat DPRD. MPR RI dan Wantimpres menilai perlunya kajian mendalam dengan melibatkan berbagai pakar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi dan kelompok terkait lainnya untuk mengkaji sejauh mana pelaksanaan pilkada langsung memberikan manfaat kepada rakyat.
“Namun bukan berarti kajian mendalam terhadap pelaksanaan pilkada langsung tidak boleh dilakukan. Mengingat menurut pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945, gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” kata Bamsoet kepada wartawan.
Ditemui terpisah, Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak banyak memberi komentar soal wacana yang digulirkan kader partainya.
“Itu kan baru usulan,” ucap Airlangga seraya masuk ke mobil dan meninggalkan Istana.
Sejarah Pemilihan Kepala Daerah
Pasca kemerdekaan, Pilkada berdasar pada UU No 22 tahun 1948 tentang Undang Undang Pokok tentang Pemerintah Daerah. UU ini mengamanatkan Kepala Daerah di tingkat provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, sedikit-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat calon (pasal 18 ayat 1). Untuk Kepala Daerah tingkat kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD kabupaten, sedikit-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon (pasal 18 ayat 2). Setelah UU No. 22 tahun 1948, ketentuan Pilkada berubah. Pengganti UU No. 22 tahun 1948 adalah UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini Kepala Daerah dipilih oleh DPRD (pasal 24 ayat 1). Kepala Daerah tingkat I disahkan oleh Presiden, sedangkan Kepala Daerah tingkat II di sahkan oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 24 ayat 2).
UU No. 1 tahun 1957 ini digantikan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam UU No. 5 tahun 1974 ini disebutkan bahwa Kepala Daerah Tingkat I (Provinsi) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah di musyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan fraksi- fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sedikit-dikitnya 2 (dua) orang diajukan kepada Presiden untuk diangkat salah seorang diantaranya (Pasal 15 ayat 1 dan 2).
Sedangkan Pilkada tingkat II (kabupaten/kota) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah di musyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur. Selanjutnya sedikit-dikitnya 2 (dua) orang diajukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk diangkat salah seorang diantaranya. (pasal 15 ayat 1 dan 2)
Setelah era reformasi, Pilkada berdasar pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan (pasal 34 ayat 1). Pasangan calon Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Pasca UU No. 22 tahun 1999 lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan perubahan yang sangat besar, yaitu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5). UU No. 32 Tahun 2004 ini menjadi tonggak sejarah, karena pertama kalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Sepuluh tahun setelah pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004 terbitlah UU No. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. UU ini dapat dikatakan sebagai koreksi atas UU No. 32 Tahun 2004 yang bereuforia atas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung.
UU No. 22 tahun 2014 ini memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya. Sebagaimana disebutkan pasal 28 ayat 1 bahwa pemungutan suara, perhitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Terbitnya UU No. 22 tahun 2014 ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, yang menginginkan Pilkada tetap digelar secara langsung. Penolakan yang begitu masif dari masyarakat terhadap UU No. 22 tahun 2014, menjadikan UU tersebut dicabut.
Dengan dicabutnya UU tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disahkan menjadi UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
UU No.1 Tahun 2015 mengembalikan kembali pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagaimana pasal 1 ayat 1 yang menyatakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara demokratis.
UU No. 1 tahun 2015 beberapa kali mengalami perubahan, yang terbaru dirubah melalui UU No 10 Tahun 2016. UU No. 10 Tahun 2016 mempunyai spirit yang sama dengan UU yang sebelumnya yang mengamanatkan pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat.(Ivo)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)