Penulis : Dian Erika Nugraheny
RUANGPOLITIK.COM — Sejumlah pertemuan politik pernah digelar di Istana Batu Tulis. Kompleks bangunan itu sebenarnya bernama Hing Puri Bima Cakti. Saat ini di sekitarnya dikelilingi oleh perkampungan penduduk.
Istana Batu Tulis yang berdiri di atas lahas seluas 3,8 hektare juga dikelilingi oleh pagar tembok berwarna putih.
Menurut catatan sejarah, pembangunan kompleks bangunan itu dilakukan setelah kunjungan seorang ahli gunung berapi bernama Van Riebeeck pada 1702.
Saat itu Abraham Van Riebeeck ditugaskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk memeriksa kondisi Buitenzorg (Bogor) setelah letusan Gunung Salak pada 1699.
Dia mencatat lumpur akibat letusan Gunung Salak sempat menyumbat aliran Sungai Ciliwung. Maka dari itu dia kemudian membersihkan sumbatan itu karena Sungai Ciliwung merupakan sumber air bagi penduduk Batavia.
Van Riebeeck kemudian dipersilakan membangun sebuah tempat peristirahatan untuk memantau aktivitas Gunung Salak. Kompleks bangunan itu yang saat ini kemudian menjadi cikal bakal Istana Batu Tulis.
Tempatnya tidak jauh dari lokasi Prasasti Batu Tulis yang diyakini merupakan peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Lantas pada 1960-an, Presiden Soekarno membeli tanah di sekitar tempat peristirahatan itu. Dia lantas meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk merancang sebuah bangunan untuk rumah tinggal dan tempat peristirahatan.
Sejumlah elemen gaya bangunan Istana Batu Tulis mirip dengan Istana Tampaksiring di Bali karena arsiteknya pun sama.
Menurut cerita masyarakat sekitar, saat itu Soekarno kerap menginap di Istana Batu Tulis dan gemar bercengkerama dengan warga sekitar.
Gejolak politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 membuat citra Soekarno meredup. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) lantas mencabut mandat kepada Soekarno sebagai presiden pada 7 Maret 1967.
Dalam buku otobiografi “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” yang ditulis Cindy Adams disebutkan, Soekarno berharap dia dimakamkan di wilayah pegununungan saat wafat.
Meski tidak menyebutkan secara khusus soal Istana Batu Tulis, dalam buku itu Soekarno berharap ingin dimakamkan di tempat yang sederhana.
Saya ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan. Hanya keindahan dari negara yang saya cintai dan kesederhanaan sebagaimana saya hadir. Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pegunungan, daerah Priangan yang subur di mana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen,” kata Soekarno dalam buku itu.
Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memakamkan Soekarno di kota kelahirannya di Blitar, Jawa Timur melalui Keppres RI Nomor 44 Tahun 1970.
Setelah Soekarno meninggal, pengelolaan Istana Batu Tulis diambil alih pemerintah Orde Baru
Baru pada pemerintahan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, pengelolaan Istana Batu Tulis diserahkan kembali kepada ahli waris Soekarno.
Editor: Syafri Ario
(Rupol)