RUANGPOLITIK.COM – Belakangan ini riuh ramai isu tentang adanya gejolak di dalam internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga munculnya suara-suara sumbang akan kepemimpinan Suharso Monoarfa, Ketua Umum PPP, yang dinilai tidak mumpuni memimpin PPP untuk menghadapi Pemilu Serentak 2024.
Isu ini pun diiringi dengan hasil berbagai lembaga survei tentang elektabilitas PPP yang hasilnya membuat dahi kader PPP mungkin berkerut ketika membacanya. Hasil survei Charta Politika (13/6), PPP berada di peringkat ke-8 dari daftar elektabilitas partai dengan 2,7 persen. Sedangkan menurut Litbang Kompas, elektabilitas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya mencapai 2% pada Juni 2022.
Masih ada beberapa lembaga survei yang juga menghitung bahwa elektabilitas PPP terancam tidak masuk Parliamentary Threshold (PT) sehingga tidak dapat memiliki kursi di Senayan pada 2024 nanti. Tentu hal ini menjadi perhatian publik, baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Mulai dari kepemimpinan Suharso hingga minimnya figur nasional yang ada di dalam tubuh partai menjadi dugaan turunnya ekektabilitas PPP.
Mengenai adanya isu gejolak di internal partai dan reaksi PPP terhadap hasil buruk lembaga-lembaga survei terhadap elektabilitas PPP, RuPol langsung mengkonfirmasi Arwani Thomafi, Sekjen PPP, yang mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada gejolak di internal PPP. “Justru PPP saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan penguatan kapasitas kader partai. Minggu depan kita akan ada sekolah politik untuk DPC, sebelumnya kami sudah lakukan di tingkat pusat dan wilayah (provinsi-red). Kami juga secara bertahap melakukan bedah dapil untuk memberikan pemahaman tentang strategi pemenangan, pemahaman tentang menganalisa situasi dapil yang sudah kami laksanakan di 29 provinsi,” ungkap Arwani.
Ia melanjutkan, PPP juga melaksanakan Rakornas Majelis Pakar dan Rapat majelis syariah dengan bentuk majelis alim ulama. Lalu PPP juga mengkonsolidasikan kader-kader perempuan PPP untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. “Kemudian kami juga sudah membuka pendaftaran untuk caleg. PPP ini partai yang bukan baru satu atau dua kali ikut pemilu. PPP ikut pemilu dari tahun 1973,” tegas Arwani tetap optimis. Ketika ditanyakan bagaimana respon terhadap hasil survei, Arwani mengatakan bahwa pada prinsipnya hasil survei dan dinamika politik yang terjadi tentu menjadi perhatian PPP.
Floating Mass
Mungkin yang dikatakan Arwani ada benarnya, bahwa PPP bukan partai politik yang baru saja mengikuti pemilu. Pada faktanya, dari penelusuran RuPol, hasil survei memang kerapkali tidak bersahabat dengan elektabilitas PPP. Tetapi ketika Pemilu diselenggarakan, PPP kerapkali mendapatkan hasil yang memutarbalikkan prediksi lembaga-lembaga survei.
Contohnya, berdasarkan penelusuran RuPol, pada tahun 2004 hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap Partai Persatuan Pembangunan bahwa PPP hanya akan mendapat lima persen suara nasional. Hasilnya PPP mampu mendulang 8,15 persen pada Pemilu 2004. Dengan hal ini, bukan tidak mungkin PPP memang tidak akrab dengan elektabilitas ala lembaga survei, tetapi selalu dapat menegakkan eksistensinya ketika Pemilu digelar
Analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam, ketika dihubungi oleh RuPol, mengatakan bahwa memang ada beberapa partai kalau disurvei, memang hasilnya dibawah 4 persen yang artinya tidak lolos ambang batas parliamentary threshold (PT). Tetapi ketika pemilu dilaksanakan pada hari ‘H’, ternyata ada juga yang mendapatkan angka 4 persen.
“Kenapa ini terjadi? Akumulasi suara partai adalah akumulasi dari suara basis tradisional (pemilih militan-red) yang mendukung partai dan suara floating mass (massa mengambang) yang belum menentukan pilihannya, tetapi bisa memilih partai karena melihat visi dan misi partai atau melihat figur partai,” ujar Arif Nurul Imam.
Ia melanjutkan, dalam beberapa survei memang PPP tidak memiliki elektabilitas tinggi, bahkan cenderung tidak aman untuk memenuhi PT. Tetapi yang sebelumnya dikatakan oleh Arif Nurul Imam, bahwa PPP itu dapat menggarap floating mass atau suara yang belum bertuan. Dalam survei mengapa PPP nilai elektabilitasnya kecil? Karena floating mass yang masih belum menentukan pilihan dan tambahan suara tokoh serta Caleg PPP
Jika dikatakan PPP menurun elektabilitasnya karena kurangnya figur atau tokoh, Arif Nurul Imam mengatakan hal tersebut mungkin saja, tetapi menurutnya tidak signifikan berpengaruh kepada penurunan elektabilas paratai. “PPP memiliki keuntungan dengan persepsi di publik bahwa partai ini partai umat islam, walaupun ada juga beberapa parpol lain yang juga dekat dengan umat islam,” ujar Arif.
Untuk diketahui, raihan suara tertinggi PPP di era reformasi terjadi pada Pemilu 1999. Saat itu, mereka duduk di posisi keempat dengan perolehan 11.329.905 suara. Setelah kegemilangan itu, suara PPP kian menyusut. Pada 2004, suara mereka turun ke angka 9.248.764 atau 8,15 persen suara sah dan menempati urutan keempat.
Pada 2009, PPP melorot ke posisi keenam dengan perolehan 5.533.214 suara, setara 5,32 persen suara sah. Lima tahun berikutnya, perolehan suara PPP sedikit naik 8.157.488 suara atau 6,53 persen suara sah. Namun posisi mereka turun ke nomor sembilan. Pukulan paling telak untuk PPP diterima pada Pemilu 2019. PPP hanya mampu mendulang 6.323.147 suara atau 4,52 persen sah. Mereka nyaris tidak lolos ke parlemen karena perolehan suara mendekati ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 4 persen. (RD)