Oleh: Kamaludin | Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik
RUANGPOLITIK.COM –Proses asesmen yang diselenggarakan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Banten telah selesai pada 7 Februari 2025. Namun, hingga kini, tidak ada langkah konkret dari Pj Gubernur Banten, Damenta, untuk menindaklanjuti hasil asesmen tersebut. Desakan dari berbagai elemen masyarakat agar Pemprov Banten segera melakukan percepatan pelayanan publik terus bergulir, mengingat banyaknya posisi strategis di pemerintahan yang masih kosong atau diisi oleh pejabat nondefinitif.
Data yang dihimpun menunjukkan bahwa terdapat 15 posisi eselon 2 yang kosong, di antaranya Dinas Komunikasi Informatika, Statistik dan Persandian, Dinas ESDM, Inspektorat, Dinas PMD, Badan Kesbangpol, Bapenda, Biro Hukum, Biro Umum, Bappeda, Dinas Ketahanan Pangan, Biro Ekonomi Pembangunan, Biro Organisasi, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial dan 2 posisi Staf Ahli Gubernur. Termasuk didalamnya, begitu banyaknya eselon 3 dan 4 yg juga terlalu lama pada posisinya dan kosong, belum tersentuh penyegaran, sehingga berdampak pada aspek psikologis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kosongnya posisi strategis ini menghambat kinerja pemerintahan, menyebabkan lambannya pengambilan keputusan, dan berpotensi menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Reorganisasi, rotasi, dan mutasi pejabat seharusnya menjadi prioritas utama bagi Pj Gubernur untuk mengatasi stagnasi birokrasi ini.
Namun, alih-alih menunjukkan ketegasan dan kepemimpinan yang progresif, Pj Gubernur Banten justru terlihat pasif dan tidak memiliki arah jelas dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Sejak dilantik, tidak ada gebrakan berarti yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas birokrasi. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bukan hanya pelayanan publik yang terganggu, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah akan semakin merosot.
Kemandulan kepemimpinan ini semakin mencolok ketika melihat betapa lambatnya respons Pemprov Banten terhadap berbagai persoalan publik, yang terkait pada aspek koordinasi dan konsolidasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang tentunya akan mempengaruhi rendahnya serapan anggaran untuk sektor prioritas. Padahal, sebagai seorang Pj Gubernur, Damenta seharusnya mampu menghadirkan warna baru dalam birokrasi Banten, bukan sekadar menjadi pengisi jabatan yang minim kontribusi.
Tugas utama seorang penjabat gubernur adalah memastikan bahwa roda pemerintahan berjalan optimal dan mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Jika Damenta tidak segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan permasalahan birokrasi, maka keberadaannya di Banten justru menjadi beban, bukan solusi. Publik membutuhkan pemimpin yang berani mengambil keputusan, bukan sosok yang hanya mengulur waktu tanpa tindakan konkret.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, juga harus mengevaluasi kinerja Pj Gubernur Banten. Jika tidak ada perbaikan dalam waktu dekat, maka akan berdampak negatif pada kepentingan masyarakat luas dan tentunya akan menjadi preseden buruk bagi Propinsi ini. Banten tidak boleh menjadi daerah yang tertinggal hanya karena ketidaktegasan seorang pemimpin.
Saat ini, bola ada di tangan Pj Gubernur Damenta. Apakah ia akan memilih untuk menjadi pemimpin yang meninggalkan jejak positif dalam sejarah Banten, atau justru hanya menjadi benalu yang menambah daftar panjang permasalahan birokrasi di daerah ini? Waktu yang akan menjawab, tetapi masyarakat Banten tidak akan tinggal diam menunggu tanpa ada kepastian perubahan.(rls)