RUANGPOLITIK.COM— Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana memberi bocoran soal sistem proporsional tertutup atau terbuka yang saat ini tengah berproses di Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 pun telah menegaskan proporsional terbuka menjadi sistem yang digunakan sejak pemilihan umum tahun 2009 sampai 2019 lalu.
Pengujian materil Pasal 168 ayat (2) dan 420 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka masih berproses di MK. Begitu pun dengan wacana penundaan pemilu yang mencuat usai PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan dengan menghukum KPU untuk mengulang tahapan pemilu.
Denny Indrayana mengaku dihubungi salah seorang pimpinan tinggi negara yang menyebut MK akan menetapkan sistem proporsional tertutup. Selain itu, pemilu akan ditunda hingga tiga tahun mendatang.
“Saya dihubungi salah satu pimpinan tinggi negara yang mengatakan mas Denny tolong begini-begini. Dia bilang kenapa, ini putusannya MK sebentar lagi keluar akan menjadi sistem proporsional tertutup dan pemilunya ditunda 2-3 tahun,” bebernya dikutip, kanal YouTube Medcom berjudul “Akal Bulus Menerus Pemilu Tak Mulus”, dilansir Jum’at (9/3/2023).
Hanya saja, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini tidak menyebut sosok pimpinan tinggi negara itu. Pada intinya kata dia, jabatannya strategis.
“Saya bilang aduh. Ini suatu informasi yang keluar dari yang tidak bisa saya sebutkan namanya dan profesinya apa. Tapi sangat strategis,” ujarnya.
Sehingga kata Guru Besar UGM ini, informasi ini tidak bisa dianggap omong kosong.
“Jadi tidak bisa saya anggap bahwa itu informasi yang sambil lalu. Karena ini pastinya punya informasi yang valid terkait dengan kedudukannya sangat strategis,” ungkapnya.
Potensi penundaan itu kata dia sangat besar karena posisi MK saat ini berada di bawah presiden. Seperti halnya KPK sesuai dengan perubahan UU KPK tidak lagi memiliki independensi.
“Apakah itu bisa masuk penundaan pemilu. Mestinya tidak MK-nya tapi MK sekarang sebagaimana KPK sudah ditetapkan di bawah presiden dengan UU perubahan KPK itu sehingga tidak lagi punya independensi,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengklaim sistem proporsional terbuka dalam pemilihan umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal ini disampaikan Yusril saat memberikan keterangan dalam sidang uji materiil UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum terkait gugatan pasal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/3/2023).
“Ketentuan pasal, tentang pemilihan umum yang mengatur sistem proporsional terbuka, secara nyata telah bertentangan dengan UUD NRI 1945,” ujar Yusril.
Yusril mengungkap beberapa pasal dalam UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf d, Pasal 386 ayat (2) huruf d, Pasal 420 huruf c dan d , Pasal 422 dan Pasal 426.
“(Pasal-pasal tersebut) menyangkut penerapan sistem proporsional terbuka, bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” katanya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan sistem proporsional terbuka melemahkan dan mereduksi partai politik. Selain itu, ia menilai sistem tersebut menurunkan kualitas pemilu.
Usai memberi keterangan, Yusril menyebut perlu ada penguatan agar partai politik yang dipilih dalam setiap pemilu. Ia ingin sistem proporsional tertutup atau coblos partai diterapkan lagi.
“Asumsinya kan masyarakat itu majemuk, orang tuh punya pemikiran yang berbeda. Orang yang sama pikirannya silahkan bersatu membentuk partai politik. Partainya itulah yang akan ikut dalam Pemilu,” ujarnya.
Meski demikian, Yusril mengatakan tidak ada sistem yang lebih baik dari pada sistem yang lain. Oleh sebab itu, ia mendorong sistem yang dipilih dan dijalankan harus dievaluasi.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)