Oleh: Yusuf Ibrahim | Wartawan Penikmat Sepak Bola
RUANGPOLITIK.COM –Betapa saat ini mayoritas pendukung Timnas sepak bola nasional sedang galau. Mendapati Timnas tercintanya ada di posisi buncit klasmen sementara kualifikasi Round-3 Pra Piala Dunia, karena tak sekalipun menang dari 5 laga yang sudah dijalani.
Punya poin 3, didapat dari main seri dengan Arab, Australia dan Bahrain. Dua lainnya kalah dari China dan Jepang.
Galau, dalam pengertian bahasa gaul adalah perasaan sedih, gelisah, tidak karuan, kebingungan, khawatir, menyesal, kacau, dan kesal.
Kata galau sering digunakan untuk menggambarkan perasaan yang tidak nyaman atau kebingungan dalam mengambil keputusan bagi generasi milenial, Y dan Z.
Kegalauan mayoritas pendukung Timnas saat ini adalah keputusan tetap mencintai pelatih Shin Thae-yong (STY) atau cukup sampai disini. Begitulah kira-kira kondisinya.
Itu bisa dilihat dari angin trending komentar di lini masa media sosial. Kecintaan publik pada STY mulai bergeser. Termasuk pendapat para pundit football dan yang belakangan banyak muncul sosmed.
“Kalau keputusan mencintai Timnas, itu harga mati. Selamanya! Istilah kata, Timnas selamanya, tapi cinta ke pelatih mah, ada masanya. Keputusannya bisa berubah,” ucap rekan penulis pendukung militan Timnas, usai menyaksikan kekalahan 0-4 dari Jepang.
Bisa dipahami. Seburuk-buruknya Timnas, seorang warga negara tak punya pilihan untuk tetap mencintai tim negaranya.
Kalau pun dia punya idola timnas negara lain, itu adalah gaya hidup. Kesenangan tanpa proximity.
STY yang dipuja selama ini sepertinya memang sedang tidak baik-baik saja. Egonya mulai dipertanyakan. Paling tidak oleh media sebesar Kompas dalam tulisannya berjudul “Hadapi Saudi, Saatnya Shin Tae-yong Menyisihkan Ego”.
Ketidakpedulia STY terhadap kemampuan berbahasa Indonesia ternyata mempengaruhi komunikasi dalam tim. Sehingga arahannya dianggap tidak efektif. Apalagi saat pertandingan sedang berjalan. Oleh Kompas, itu dianggap ego STY.
“Ego lainnya, STY seolah alergi terhadap evaluasi. Setiap kali usai berlaga, dia seolah tidak membuka pintu evaluasi pertandingan terbuka bagi mereka yang berkepentingan. Ini diantaranya dirasakan oleh awak media yang setia meliputnya”, tambah pengamat sepak bola kenamaan, Bung Towel, ketika penulis minta pendapatnya.
Kejadian teranyar, STY memilih pulang kampung ke negaranya terlebih dahulu dibanding meladeni evaluasi oleh PSSI, usai Indonesia dikalahkan oleh China. Membuat PSSI mengalah untuk menunggu.
Ego STY juga terdengar kurang suka berdiskusi dengan skuad-nya. Cerita ini dikabarkan oleh orang dalam PSSI yang juga dikutip Kompas dalam tulisannya.
Ditenggarai, saat gagal menang dari Bahrain, beberapa pemain memancingnya untuk berdiskusi mengapa bisa kecolongan gol dimenit-menit akhir. Peristiwa itu terjadi di ruang ganti.
Kabarnya, STY tidak nyaman dengan situasi itu. Endingnya dia “memarkir” beberapa nama pemain yang punya ide diskusi saat melawan China dipertandingan berikutnya. Ini juga dianggap sebagi ego kekuasaannya sebagai pelatih.
STY juga dianggap publik tidak fair memanfaatkan pemain naturalisasi yang dia rekomendasikan. Dia memang berhak penuh merotasi pemain yang ada.
Namun ketika pilihan DSP (Daftar Susunan Pemain) dan pergantian pemain dianggap “aneh dan nyeleneh” oleh publik, itu dianggap mencedrai usaha PSSI yang sudah berpayah-payah mempercepat proses administrasi pemain naturalisasi-diaspora agar bisa bermain maksimal. Ini penulis simpulkan dari beberapa pendapat insan sepakbola nasional di group Whatsap Rembuk Sepak Bola Nasional ber-member para tokoh sepak bola Indonesia.
Contoh kasus, diantara beberapa kejadian “miring” lainnya dari STY adalah tentang Eliano Reijnders yang ditepikan saat melawan China dan tidak ada dalam line-up saat melawan Jepang.
Kejadian itu membuat publik bertanya-tanya, ada apa? Walau akhirnya ada respon dari STY.
“Eliano belum layak untuk masuk skuad sehingga saya memilih itu (tidak memainkan Eliano)” Jawabannya itu tidak memuaskan dan tetap membuat publik meradang.
Seolah menyadari kritikan publik kepada dirinya, dalam sebuah jumpa pers di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Senin (18/11/2024) sore. Coach Shin berucap, “Pastinya ada tekanan. Media dan masyarakat luar biasa perhatian terhadap sepak bola Indonesia. Jadi ketika kita menang, atau kalah, akan banyak berita yang baik begitu juga berita negatif.”
Pernyataan STY itu bersifat normatif. Bukan pembelaan tapi semacam introspeksi diri. Publik ingin dia lebih tegas, fair dan menurukan ego kepelatihannya yang kadang suka trial and error dan bernuansa keberuntungan.
Melawan Arab Saudi di GBK Senayan nanti malam (19/11), pecinta STY dan publik sepak bola nasional umumnya ingin STY meraih kemenangan, agar jalan menuju Round-4 tetap terbuka dan mimpi ke Piala Dunia 2026 tetap terjaga.
Menang adalah sebuah keniscayaan buat STY, walau Saudi bukanlah tim yang mudah dikalahlan Indonesia. Sebuah resiko besar keharuman nama Shin Thae-yong selama ini.
Nasib cinta mayoritas pendukung timnas saat ini kepada STY sangat ditentukan hasil pertandingan melawan Arab. Hanya kemenanganlah yang bisa mengubur kegalauan dan kemungkinan meluncurnya ucapan “Annyeonghi Gaseyo STY” (Selamat Tinggal STY) dari mayoritas pendukung Timnas saat ini.
Timnas selamanya, tapi pelatih, Shin Thae-yong, ada masanya.
Kalau Ketum PSSI?
Kita akan bahas pada tulisan berikut. Tabik. (***)