Oleh: Ali Muhtarom/Dosen UIN SMH Banten
RUANGPOLITIK.COM – Dinamika politik dan ideologi tidak pernah surut dikaji, baik oleh kalangan akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dan lebih lebih para pengamat politik dalam Pilpres 2024.
Fenome yang terakhir tersebut justru sedang viral didalam mengisi ruang diskusi publik setelah duet Anis-Muhaimin (Amin) dideklarasikan, meskipun di sini terdapat respon yang berbeda.
Kelompok pertama menilai bahwa duet Amin akan memenangkan kontestasi pada Pilpres 2024 karena poros Islam modernis dan tradisionalis barsatu. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa wacana publik hanya terpusat pada kelompok modernis-tradisionalis Islam, di mana peran Partai Nasdem sebagai inisiator koalisi?
Pada sisi lain, beberapa kalangan justru menilai duet tersebut tidak memiliki efek elektabilitas tinggi dengan alasan terlalu sederhana jika kemenangan duet tersebut hanya didasarkan pada faktor modernisme-dan tradisionlisme Islam.
Saya sendiri tidak setuju dengan kategorisasi tradisionalisme jika ditujukan kepada kelompok Nahdliyyin karena mengandung makna peyoratif dari pada substansinya. Tradisionalisme mengandung arti “kolot” dan “konservatif-negatif” yang keduanya pada era saat ini tidak tepat untuk disematkan pada kelompok Nahdliyyin.
Kategori tradisional yang cenderung dipahami masyarakat umum, dalam pandangan saya adalah konservatisme dalam konservatisme pemikiran, terutama pemikiran keagamaan dalam menolak sistem demokrasi, kearifan lokal, dan pandangan ideologi agama yang diorientasikan pada sistem negara.
Data sejarah dan hasil riset akademik tidak menolak bahwa realitas tersebut sebagai indikator konservatisme yang melahirkan bentuk radikalisme yang dalam sejarah kebangsaan Indonesia tidak menghinggapi pemikiran warga Nahdliyyin. Dampak pemikiran keagamaan radikalisme tersebut kemudian menjadi ideologi yang tidak menutup kemungkinan berkembang melalui instrumen tertentu, termasuk politik.
Dalam level kebudayaan, konservatisme juga tidak tepat disematkan kepada pola pemikiran warga Nahdliyyin karena dalam penerimaan budaya dan kearifan lokal, warga Nahdliyyin komitmen pada penjagaan nilai kearifan lokal.
Alih-alih ingin mendirikan negara Islam, warga Nahdliyyin justru menegaskan komitmennya pada NKRI yang secara konsisten mengambil bentuk Islam Nusantara sebagai paradigma dan keislaman yang dipilih, yang tidak jarang mendapatkan serangan dari kelompok pyriranisme dan radikalisme.
Sebenarnya tidak ada persoalan dalam dunia perpolitikan terkait pilihan koalisi dengan pasangan siapapun dan Partai Politik manapun karena sistem demokrasi bangsa Indonesia tidak melarang hal tersebut. Pada saat yang sama, realitas tujuan politik adalah memenangkan kontestasi karena pilihan untuk menang. Jadi, koalisi pun, juga realitas politik.
Namun, wajar juga ketika muncul dinamika di masyarakat sebagai respon dari realitas yang perpolitikan yang berkembang saat ini, terutama pasca duet koalisi tersebut.
Munculnya berbagai respon tersebut perlu diapresiasi bahwa masyarakat saat ini memiliki literasi politik yang tinggi. Kurang tepat kiranya menilai tokoh tertentu dari kecenderungan dominasi identitas dan kultur.
Masyarakat bisa menafsirkan tokoh dan siapapun yang dianggap paling ideal untuk dipilih menjadi pemimpin. Idealisme memilih dan mengidealkan tokoh juga tidak semata mata didasarkan pada pengaruh material atau karena sentimen kelompok. Idealitas tersebut terbangun dari pilihan rasional yang direfleksikan dari pengalaman historis.
Wajar saja jika ada yang berpendapat, karena faktor perbedaan ideologi, narasi struktural fungsional akan berbeda dengan yang diharapkan, sehingga tidak sesederhana wacana yang diramalkan sebagian pengamat. Kondisi tersebut bisa berlaku pada masing-masing pendukung. Begitu pula dalam memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden pada gelaran Pilpres 2024 nanti. Tidak bisa dijamin bahwa pendukung duet koalisi tersebut akan konsisten.
Meskipun demikian, Suasana perpolitikan hari ini semakin menarik dicermati dengan bersatunya dua tokoh muda yang direpresentasikan sebagai perwakilan “modernitas-tradisionalitas Islam”, meskipun dalam dinamika jejak sejarah, keduanya memiliki afiliasi cantolan ideologi berbeda.
Dinamika sejarah polarisasi tentang perbedaan afiliasi tersebut tidak langsung mengarah pada kedua sosok yang lagi berduet, namun bisa dibaca dari warisan paradigma tentang konsep dan sistem politik kebangsaan.
Selain itu, jurang pemisahnya juga selalu berbenturan dengan urusan “pyriranisme” soal kemurnian ajaran Islam dan bid’ah. Kedua faktor tersebut, diakui atau tidak, akan menjadi pilihan rasional ideologis dari masing-masing konstituen.
Respon-respon tersebut setidaknya bisa dilihat dari munculnya istilah yang sedang viral seperti pandangan sulitnya besatu antara “minyak dan air” atau candaan “bid’ah”. Tentu saja, munculnya istilah tersebut ada yang menafsirkan sebagai stigma untuk menggoyang pasangan yang lagi mesra untuk menyatukan “botol dan tutupnya”.
Pada saat yang sama, munculnya istilah tersebut dianggap oleh sebagian yang lain tidak ada unsur stigma, namun muncul dari realitas sejarah tentang pengaruh politik ideologi, yang mencair dari kepentingan kontestasi, tapi tidak berpengaruh bagi kelompok idealis.
Namun, pada titik ini, para pendukung ideologi agama, atau kelompok Islamisme selalu “dicurigai’ oleh kelompok kontra-nya. Kecenderungan tersebut murni didasarkan pada nilai kebhinekaan dan kebangsaan karena imaginasi yang terbangun, apalagi pada perhelatan politik saat ini “dicurigai” sebagai kesempatan emas bagi kelompok modernisme. Pada titik ini pula, istilah “air – minyak” dan “bid’ah menjadi anti-tesa dari narasi “botol dan tutup-nya”.
Dari realitas ideologi dan politik tersebut, jika dihubungkan dengan instrumen kontestasi politik, sepertinya memang tidak semudah apa yang diharapkan oleh kelompok pertama, namun perlu menjadi semangat memperjuangkan duet Amin dan teruslah berjuang untuk merangkul sebagian yang masih enggan untuk bergabung.
Meskipun, jika mengingat diskursus gerakan aktivisme Islam era tahun 2000an, sepertinya imaginasi ideologi politik menjadi “penghalang” dalam perjalanan koalisi. Entah apakah karena faktor stigma atau bukan, yang jelas ideologi politik menyisakan beban berat.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)