Ia menilai kasus AHY dan Anies bukan menandakan eks Mendikbud itu memilih AHY sebagai cawapres, tetapi lebih pada ajakan untuk membuat koalisi kuat. Ia menilai, Anies tetap memberikan ruang kepada koalisi sehingga tidak bisa memilih cawapres sendiri.
RUANGPOLITIK.COM – Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah. Ia mengatakan, partai akan tetap memiliki kuasa dalam pilpres selama masih ada sistem ambang batas, bahkan kandidat kuat seperti Prabowo Subianto sekalipun. “Artinya, bukan faktor capres yang menentukan situasi, tapi sistem politik kita.
Jika ambang batas [syarat mengajukan calon] presiden hilang, maka capres dan cawapres akan muncul tanpa intervensi partai,” kata Dedi. Dedi menilai, situasi koalisi PDIP lebih tragis karena semua harus mengikuti arahan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Menurut dia, Megawati akan menjadi kunci utama dalam koalisi. “Sejak awal sudah deklarasi tunduk pada keputusan Megawati, bahkan Ganjar sejak [bakal] capres hingga misalnya jadi presiden, potensial tidak mandiri karena tunduk pada Megawati,” kata Dedi, Kepada media Kamis (7/9/2023).
Ia menilai kasus AHY dan Anies bukan menandakan eks Mendikbud itu memilih AHY sebagai cawapres, tetapi lebih pada ajakan untuk membuat koalisi kuat. Ia menilai, Anies tetap memberikan ruang kepada koalisi sehingga tidak bisa memilih cawapres sendiri.
“Meskipun Anies diberi wewenang, tetap saja keputusan berlaku kolektif, dan pilihan Anies pada Muhaimin jelas bukan dalam rangka mengkhianati AHY, tetapi itu bentuk komitmen bersama,” kata Dedi. Dedi juga menilai, mandat penentuan cawapres tidak memiliki dampak pilihan publik signifikan, tetapi lebih sebagai kontra narasi dalam isu pemilihan capres-cawapres, yakni narasi capres petugas partai.
Ia tidak memungkiri bahwa Anies menjadi berbeda akibat narasi tersebut, tapi tidak berdampak kepada suara. Ia mengacu pada hasil survei IPO bahwa Anies menempati peringkat kedua soal independesi atau berada di bawah Prabowo. Dedi juga menilai tidak ada narasi Anies memilih AHY yang kemudian tidak sejalan dan memilih Muhaimin.
Ia justru melihat ada propaganda politik dalam kegiatan tersebut. Hal itu, kata Dedi, wajar dalam politik. “Narasi bahwa Anies seolah memilih AHY hanya propaganda Demokrat semata, dan itu biasa dalam iklim politik situasional saat ini,” tandasnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)