Oleh: Gun Gun Heryanto/ Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
RUANGPOLITIK.COM – Dinamika politik nasional menuju Pemilu 2024 semakin ramai, seiring dengan aksi-reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan.
Membaca situasi terkini, ragam kekuatan sudah mulai terkonsolidasi. Pengujung tahun ini dan awal tahun depan akan menjadi salah satu fase tersibuk partai politik.
Selain harus bersiap dengan tahapan pemilu legislatif, juga harus intens membangun komunikasi politik lintas kekuatan guna mematangkan pengusungan capres dan cawapres yang akan menjadi kandidat resmi di Pilpres 2024. Kesalahan dalam memosisikan diri dan membuat keputusan akan berdampak pada peta kuasa mereka di masa mendatang.
Pembentukan Opini
Parpol kini harus mengayuh di antara harapan publik yang tecermin dari opini publik yang berkembang, kepentingan partai lain, dan tentunya kepentingan politik mereka sendiri. Perlahan tapi pasti, politik yang tadinya sangat acak mulai membentuk pola yang harus dibaca secara cermat oleh elite partai.
Sosiolog yang juga pakar komunikasi Jerman, Ferdinand Tönnies, dalam buku klasiknya, Kritik der öffentlichen Meinung (1922), membagi tiga tahap proses pembentukan opini publik.
Tahap pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini masih sangat acak, tak menentu, dan publik mulai ramai memperbincangkannya. Di fase ini, semua yang berkeinginan menjadi capres ataupun cawapres umumnya memunculkan diri dalam beragam cara. Ada yang tebar pesona lewat medsos, baliho, videotron, bingkai berita media, ataupun karya nyata lewat jabatannya.
Tahap pemunculan ini pastinya dikelola oleh mereka yang mau menjadi capres/cawapres melalui basis struktur partai, tim sukarelawan, konsultan, lembaga survei, ataupun jurnalis media massa dan warganet di media sosial.
Tahap kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik telah membentuk pola. Opini terkonsolidasi pada mereka yang pro ataupun kontra. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang, ataupun pihak yang belum menentukan pilihan.
Jika melihat tren belakangan, berbagai survei opini publik oleh sejumlah lembaga survei menguatkan beberapa nama sebagai figur paling potensial untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Sebagai contoh, jajak pendapat Litbang Kompas periode 24 September-7 Oktober 2022 menunjukkan tingkat elektabilitas Ganjar Pranowo mencapai 23,2 persen. Elektabilitas Prabowo Subianto di posisi kedua dengan 17,6 persen. Sementara Anies Baswedan berada di urutan ketiga, yaitu sebesar 16,5 persen.
Ketiga nama itu kini selalu berada di urutan teratas meski dengan persentase yang bervariasi dan posisi urutan yang bersaing satu sama lain di sejumlah lembaga survei lainnya. Dari keacakan nama, opini mulai bisa dipolakan dan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan.
Tahap ketiga disebut die festigen position, yakni tahap solidnya opini dan biasanya telah memunculkan mapan atau tetapnya opini publik di masyarakat. Kemungkinan mulai awal hingga pertengahan tahun depan opini soal kandidasi ini akan solid.
Setelah paket ”kuda pacuan” capres- cawapres terdaftar secara resmi di KPU, opini publik kembali akan membentuk tahapannya lagi. Publik nanti akan merespons dengan memperbincangkan tiap-tiap paket pasangan, dan biasanya mulai terkonsolidasi di saat masa kampanye. Probabilitas perolehan suara sudah mulai bisa dihitung meskipun tentu bukan proses yang linear.
Selalu muncul kejutan seiring dengan manajemen isu dan konflik yang dilakukan tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pada level tertentu, opini publik pun kembali akan solid dan potensi kemenangan bisa dipetakan menjelang hari pemilihan. Opini publik ini bisa menjadi sinyal untuk parpol tentang bagaimana seharusnya mereka merespons kehendak publik yang berkembang. Benar, bahwa opini sebagai respons aktif terhadap stimulus tidak akan pernah berada di ruang hampa. Selalu ada proses mengonstruksi opini oleh para pihak berkepentingan.
Ada proses konstruksi yang menarik perhatian kemudian bisa dikonversikan menjadi hasrat, ketertarikan, penerimaan, dan dukungan, tetapi juga tak sedikit yang hanya direspons ala kadarnya oleh publik. Jika memaksakan nama yang bukan magnet elektoral menjadi capres ataupun cawapres, tentu akan jadi masalah serius dalam memenangi kompetisi.
Mengapa tahap pembentukan opini publik saat ini lebih dini memasuki tahap die fleissigen position? Hal ini tak terlepas dari manuver Nasdem yang telah mendeklarasikan nama Anies sebagai capres. Hal ini menyebabkan intensitas komunikasi politik kian meningkat. Misalnya, perjumpaan Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat.
Fenomena yang sama dapat kita lihat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Politisi PPP, PAN, dan Golkar dari samar menjadi lebih eksplisit menyebut sejumlah nama, antara lain Ganjar, Ridwan Kamil, hingga Airlangga Hartarto. Tak ketinggalan, Gerindra dan PKB pun kian intens mematangkan rencana koalisi.
Faktor lain yang membuat fase kedua mengemuka lebih awal adalah hasil survei berbagai lembaga yang selalu menempatkan Ganjar, Prabowo, ataupun Anies konsisten di urutan teratas.
Hal ini turut mengakselerasi dinamika figur ke arah yang lebih terpola. Jika tak ada faktor luar biasa yang merusak situasi, kemungkinan parpol akan menjadikan pendekatan ilmiah membaca opini publik ini sebagai salah satu referensi dalam memutuskan pilihan.
Faktor Menentukan
Dari perspektif komunikasi politik, ada tiga faktor yang penting dikelola oleh partai dan capres/cawapres secara serius, cermat, dan tepat guna di tengah derasnya opini publik menjelang 2024.
Pertama, terhubung dengan narasi. Politik kerap terhubung dengan persepsi sehingga pengelolaan narasi sangat penting. Narasi bukan sekadar kata-kata, melainkan juga tindakan simbolik yang akan diinterpretasi oleh ragam pihak. Partai ataupun capres/cawapres harus menempatkan narasi tak semata memiliki nilai dan daya ikat emosional, seperti bicara tentang sisi personal figur capres/cawapres, tetapi juga nilai fungsional, yakni terkait gagasan dalam mengatasi ragam persoalan negeri ini.
Persoalan inflasi, dampak geopolitik, polarisasi di masyarakat, penegakan hukum, dan sejumlah persoalan lain membutuhkan respons elite partai dan para kandidat di Pilpres 2024.
Walter Fisher dalam bukunya, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), mengingatkan pentingnya membangun rasionalitas naratif. Tak semua narasi memiliki kekuatan yang sama untuk bisa dipercayai. Ada dua prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni kepaduan (coherence) dan kebenaran (fidelity). Tentu narasi tak hanya direduksi jadi sekadar tagline dalam branding politik.
Benang merah gagasan untuk mengatasi persoalan kebangsaan saat ini dan ke depan harus diresonansikan. Kepaduan antara narasi dan karakter pembawa narasi juga sangat menentukan. Pun demikian titik temu antara narasi dan kebenaran faktual yang terjadi di masyarakat, akan membuat kandidat, baik capres/cawapres maupun partai politik, layak dipertimbangkan sebagai bagian dari solusi bangsa.
Kedua, terhubung dengan konvergensi simbolik elite dengan publik. Opini publik itu awalnya kerap bertebaran secara acak dalam konstruksi personal ataupun konstruksi kelompok. Bahkan, jika tak dikelola, opini publik bisa menyerupai gelembung yang memenuhi media dan lini masa media sosial, tetapi saat mau diraih pecah dan raib tak berbekas.
Dalam bukunya The Force of Fantasy: Restoring the American Dream, Ernest Bornmann (1985) menyatakan, tujuan konvergensi simbolik adalah menjelaskan bagaimana para individu berbincang antara satu dan yang lainnya hingga mereka berbagi kesadaran umum dan menciptakan rasa memiliki identitas dan komunitas. Intinya, salah satu cara mengikat perasaan kekitaan di antara capres/cawapres dengan publik adalah terbangunnya kesadaran bersama.
John F Cragan dalam buku Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998) menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum.
Menghadirkan capres/cawapres ke dalam kesadaran publik itu bukan perkara mudah. Tak cukup menggunakan pendekatan linear lewat beragam publisitas di media massa dan medsos. Para elite harus datang, menyapa warga, membangun interaksi, mendengarkan dengan kejernihan hati dan pikiran apa yang jadi keluh kesah mereka, serta memformulasikan masukan mereka menjadi suatu benang merah gagasan dan program yang patut diperjuangkan.
Saat datang, publik juga akan menangkap pancaran kejujuran, kehangatan, dan kesungguhan atau sebaliknya kepalsuan, kedangkalan, dan kepura-puraan. Di situlah konvergensi simbolik atau berbagi kesadaran bersama itu akan diuji.
Ketiga, faktor manajemen privasi komunikasi. Persoalan politik yang kerap mengemuka di tengah situasi penuh paradoks adalah pengelolaan pesan mana yang seharusnya disampaikan dan mana yang seharusnya disimpan. Pernyataan elite harus mempertimbangkan konsekuensi bagi diri dan kekuatan politiknya.
Dalam istilah Larry A Samovar dan Richard E Porter (Communication Between Cultures, 2009), komunikasi bersifat irreversible. Apa yang telah disampaikan tak bisa ditarik ulang. Manajemen privasi komunikasi ini salah satu kunci dalam mengelola opini di situasi seperti saat ini. Salah satu hal terpenting yang dimiliki politisi adalah kemampuan menakar diri. Jika publik sudah benderang tak menghendakinya, buat apa memaksakan diri masuk ke gelanggang pertarungan!
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)