Oleh: Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati
RUANGPOLITIK.COM —Pemilih perempuan dinilai rentan terkena politik uang, termasuk pada Pemilu 2024 mendatang. Selain literasi mengenai regulasi kepemiluan maupun edukasi politik yang kurang, pemilih perempuan yang sudah mengetahui bahwa politik uang dilarang relatif tetap menerimanya.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati menyampaikan hal itu berdasarkan hasil penelitiannya yang berjudul Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics (Case Study of 2020 Regional Elections In Indonesia).
Hasil penelitian itu pun telah dipaparkan Neni dalam acara 9th World Conference on Women’s Studies 2023 di Thailand pada 11-12 Mei 2023, yang juga digelar secara daring. Di dalam konferensi dunia mengenai studi perempuan itu, Neni mewakili representasi dari Indonesia.
Dalam penelitiannya, Neni mengategorikan lima tipe pemilih. Pertama, pemilih yang menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan.
Sementara itu, tipe pemilih keempat ialah pemilih yang menolak politik uang dan mau melaporkannya. Adapun yang kelima adalah tipe pemilih yang menyaksikan politik uang maupun mengetahui informasi, kemudian berani melaporkannya.
“Sayangnya, dari lima kategori tersebut, kategori satu dan dua mendapatkan persentase paling tinggi. Menariknya, pemilih yang menikmati politik uang serta pemilih yang menolak politik uang tetapi menerimanya yang paling mendominasi adalah pemilih perempuan,” kata Neni, Senin, 15 Mei 2023.
Selain itu, menurut dia, pemilih di Indonesia tidak lebih dari suporter, sebagaimana dalam permainan sepak bola. Jika ada kampanye, tujuannya pun bukan untuk mencari pendidikan politik atau mendalami visi misi calon, melainkan lebih pada bagaimana mendapatkan kaos, suvenir, uang transpor, dan bukan sebagai pemilih.
“Dengan menggunakan pendekatan teori disonansi kognitif yang dicetuskan oleh Leon Festinger pada 1957, ada kondisi pemilih di mana antara perilaku dan keyakinan tidak sejalan. Di situlah terjadi moral hazard pemilih yang disebabkan tekanan dari pihak lain,” katanya.
Penyimpangan moral pemilih, lanjut dia, juga disebabkan oleh kebimbangan dalam memilih keputusan, karena kalau tidak menerima uang maka tidak bisa makan. Selain itu, pemilih juga mengetahui bahwa pemilu bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang jujur dan adil, tapi sampai saat ini ternyata nyaris tidak ada pemimpin yang berpihak pada rakyat.
“Hal ini tentu menjadi tantangan untuk Pemilu 2024 agar sosialisasi bisa lebih masif lagi, terutama kepada kelompok rentan. Saya berharap, partai politik bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi dan memutus politik uang yang selama ini menjadi hal lumrah di masyarakat,” katanya.
Dia menambahkan, ke depan penyelenggara pemilu perlu memiliki data mana saja lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang rentan terhadap politik uang. Neni juga mendorong kepada kandidat untuk lebih mengedepankan politik gagasan, alih-alih menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Neni menyatakan, prariset dilakukan olehnya pada April-Mei 2021 untuk melihat apakah benar bahwa pemilih perempuan selalu menjadi objek dalam politik uang dari kandidat kepala daerah. Dalam prariset, dilakukan penelitian secara kuantitatif dengan menguji teori disonansi kognitif, melibatkan populasi yang memiliki karakteristik yang ditentukan oleh peneliti.
Risetnya sendiri dilakukan pada Juni-Desember 2021. Penelitian menggunakan pendekatan campuran (mix-method), yaitu penelitian yang menggabungkan dua bentuk pendekatan, yakni kuantitatif dan kualitatif.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih perempuan memang rentan terkena politik uang,” ujarnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)