Oleh: Lukman Edy
RUANGPOLITIK.COM — Pelaksanaan Musyawarah Rakyat (Musra) yang diinisiasi oleh gabungan Relawan Jokowi, berhasil ditutup dengan ciamik dan berkesan.
Rangkaian kegiatan yang berlangsung di 28 Propinsi plus di luar negeri yang dilaksanakan di Hongkong, ditutup dengan pidato penuh semangat dan sarat makna oleh Presiden Jokowi.
Tidak sering kita melihat Presiden Jokowi berpidato dengan berapi-api, menyampaikan pesan-pesan sarat makna.
Terlepas tidak diungkap nama-nama capres dan cawapres hasil Musra secara resmi oleh Jokowi (dengan alasan menghargai proses oleh parpol).
Pidato Jokowi tetap memiliki kekuatan dan daya ledak luar biasa.
Pesan penting yang terbaca dari pidato Jokowi adalah soal kesinambungan kepemimpinan nasional, agar tidak merubah ‘roadmap’ bangsa yang sudah dibuat dan sedang berada di jalur yang tepat.
Sebagai seorang Negarawan, Jokowi menyimpan kekuatiran yang besar terhadap nasib Indonesia setelah kepemimpinannya nanti.
Kekuatiran itu sangatlah berdasar, karena arah yang ditempuh Indonesia menuju negara maju dan berdaulat di mata dunia Internasional, sudah hampir berada di ujung.
Jika penerusnya nanti tidak memahami dan menguasai jalan yang akan ditempuh, makanya peluang yang sudah di depan mata akan buyar.
Indonesia akan sulit untuk kembali ke jalur yang tepat.
Secara tegas, Jokowi menekankan berkali-kali pentingnya pemimpin yang kuat, berani dan memiliki legitimasi kuat dari rakyat.
Hal ini tentu berdasarkan pengalamannya sendiri, yang kuat menahan tekanan, hujatan, fitnah dan ‘huru-hara’ politik baik dari lawan maupun kawan.
Keberanian sangat dibutuhkan oleh penerusnya nanti, guna menghadapi apa yang sudah dihadapi dirinya sejak Tahun 2014 lalu.
Berani mempertahankan arah dan jalur yang bangsa yang sudah tepat, serta juga berani bertindak terhadap apa-apa yang menghalangi kepentingan bangsa dan rakyat.
Untuk itu, Jokowi meminta kepada seluruh relawan untuk tidak ‘grasa-grusu’ dan ‘ojo kesusu’, perintah yang bukan hanya sekali disampaikan bahkan di kegiatan awal Musra di Jawa Barat, Jokowi juga menekankan ini.
Tentu bukan hanya 1-2 alasan saja yang membuat Jokowi menyampaikan ini, karena sebagai seorang Negarawan yang sudah membuktikan kecintaannya kepada bangsa ini, Jokowi pasti sudah memiliki opsi-opsi untuk kesinambungan kepemimpinan nasional.
Pesan nyata juga disampaikan Jokowi, dengan isyarat dan pernyataan bahwa ada mekanisme yang harus dilewati untuk mencari dan mengusulkan seorang capres dan cawapres, yakni melalui partai politik ataupun gabungan partai politik.
Dengan tetap memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan Musra tersebut, yang memiliki legitimasi pengusung tetap partai politik.
Jokowi mengatakan dirinya sedang berada dalam proses tersebut, yang sesuai dengan konstitusi.
Jokowi bahkan tidak mau mengungkap nama-nama yang menjadi rekomendasi Musra, sampai nantinya parpol membuka nama yang mereka usung.
Namun walau tidak diungkap Jokowi, nama-nama sudah beredar masif di arena Puncak Musra tersebut.
Ada 3 nama untuk posisi Capres, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto.
Ketiganya tidak berbeda jauh dari yang beredar di tengah-tengah masyarakat, bahkan hampir semua lembaga survey juga mengeluarkan nama-nama tersebut.
Untuk posisi cawapres, ada 4 nama yang menjadi rekomendasi Musra, yakni Mahfud MD, Sandiaga Uno, Moeldoko dan Arsyad Rasyid.
Cukup mengejutkan munculnya nama-nama itu dan tenggelamnya nama seperti Erick Thohir, Ridwan Kamil dan Khofifah Indar Parawansa.
Dari hasil banyak lembaga survey, ketiga nama tersebut selalu berada di puncak survey untuk cawapres.
Masuknya nama Ketua KADIN Arsyad Rasyid, juga cukup membuat kening berkerinyut karena tidak pernah mengapung selama ini.
Jika benar pola Musra yang menyerap aspirasi rakyat, minimal di 28 propinsi dan luar negeri tepatnya Hongkong, maka jelas lembaga-lembaga survey kecolongan dengan sosok Arsyad Rasyid.
Atau mungkin kebetulan responden yang ditanya lembaga-lembaga survey itu, berbeda dengan rakyat yang diserap aspirasinya oleh Musra.
Khusus nama Erick Thohir, sudah bukan rahasia umum lagi merupakan salah satu menteri yang memiliki kedekatan khusus dengan Jokowi.
Nama Erick juga disebut-sebut sebagai salah satu yang dipersiapkan atau dimentori langsung oleh Jokowi, untuk menjadi penjaga kesinambungan kepemimpinan nasional.
Hilangnya nama Erick dalam bursa Musra Relawan Jokowi, membuat banyak pertanyaan, antara lain:
1 Apakah para relawan Jokowi tidak menangkap sinyal itu?
2. Apakah elektabilitas Erick Thohir rendah sekali, sementara hampir semua lembaga survey menempatkan namanya di posisi puncak?
3. Apakah Musra? Apakah? Dan banyak lagi apakah-apakah yang patut menjadi pertanyaan.
Pertenyaan-pertanyaan itu akhirnya berusaha mencari sendiri jawabannya, bagaimana seorang Erick Thohir yang gahar di survey-survey dan dekat debgan Jokowi bisa hilang, seorang Ketua KADIN yang tiba-tiba mencuat di Musra, sementara di tengah-tengah masyarakat tak berbunyi.
Khofifah dan Cak Imin tenggelam dalam lautan 90 jita warga NU, Jawa Barat yang lupa dengan Ridwan Kamil.
Ada apa denganmu Musra?
** Penulis adalah Cendekiawan NU dan Mantan Direktur Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)