RUANGPOLITIK.COM — Aksi protes dengan ucapan makian yang dilakukan oleh Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil, dinilai sebagai sebuah bentuk aspirasi seorang pemimpin daerah yang memperjuangkan kemiskinan rakyatnya. Sehingga hal ini tak bisa dianggap sebagai sebuah pembangkangan, karena ada hak rakyat yang dia perjuangkan dibalik pernyataan yang tak elok itu.
Pernyataan ini disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Selasa (13/12) yang mengingatkan agar Kementrian Keuangan tak menjadikan ini sebagai pembangkangan atas Dana Bagi Hasil (DBH). Tapi harus menjadi koreksi kinerja Kemenkeu.
“Kata-kata pedas yang dikeluarkan Bupati Meranti kepada pihak Kemenkeu jangan dilihat sebagai sebuah ‘pembangkangan’. Tapi jadikan sebagai dasar untuk mengoreksi sistem kerja Kemenkeu,” kata Anwar.
Anwar menilai Adil hanya ingin mengetahui mekanisme pembagian DBH yang diterima oleh Kabupaten Meranti. Ia memahami ketentuan pemberian DBH sudah ada, berdasarkan asumsi harga minyak.
“Yang ingin diketahui oleh sang bupati, asumsi harga minyak yang mana yang dipergunakan untuk menentukan besaran dana bagi hasil bagi kabupaten Meranti. Apakah US$60, atau US$80 atau US$100 seperti yang disampaikan presiden?,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini meminta pemerintah pusat dan daerah menjalin komunikasi yang transparan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Menurutnya, transparansi menjadi sebuah hal yang penting guna menciptakan kedamaian dan agar rakyat dapat hidup sejahtera.
“Jadi memang ada beberapa pertanyaan yang mengganggu diri sang bupati, dan hal ini tentu sangat penting dia sampaikan karena salah satu tugasnya yaitu menyejahterakan rakyat. Sementara jumlah orang miskin di daerahnya termasuk terbanyak dan tertinggi se provinsi Riau,” katanya.
Sebelumnya Bupati Meranti Muhammad Adil menyebut Kemenkeu berisi iblis dan setan. Pernyataan pedas itu ia sampaikan pada Direktur Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman saat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah di Pekanbaru, Kamis (9/12).
Adil awalnya kesal karena merasa tidak mendapat kejelasan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang mestinya diterima daerahnya. Ia menilai Meranti seharusnya layak mendapat DBH dengan hitungan US$100 per barel.
Namun, pada tahun ini DBH yang diterima hanya Rp114 miliar dengan hitungan US$60/barel. Ia mendesak Kemenkeu agar DBH yang diterima menggunakan hitungan US$100 per barel pada 2023.
Karena masalah itu, ia mengancam akan angkat senjata dan bergabung menjadi bagian Malaysia. Ia merasa pemerintah Indonesia tak mau adil dalam mengurusi wilayah dan rakyatnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)