Rumusan living law RUU KUHP tidak melibatkan masyarakat hukum adat. Ketentuan ini malah berpotensi mencederai masyarakat hukum adat,” kata Nadya dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP
RUANGPOLITIK.COM — Peneliti Huma, Nadya Demadevina, mencatat para perumus RUU KUHP kerap mengatasnamakan masyarakat hukum adat dalam menyusun ketentuan living law. Tapi faktanya selama ini masyarakat hukum adat tidak pernah dilibatkan dalam membahas RUU KUHP.
Koalisi masyarakat sipil juga terus menyoroti berbagai pasal dalam RUU KUHP, salah satunya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
“Rumusan living law RUU KUHP tidak melibatkan masyarakat hukum adat. Ketentuan ini malah berpotensi mencederai masyarakat hukum adat,” kata Nadya dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP,” Minggu (20/11/2022) kemarin.
Alih-alih mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat, ketentuan living law malah berpotensi menciptakan ancaman bagi masyarakat hukum adat. Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP menyebut hukum yang hidup diartikan sebagai hukum pidana adat dan dikompilasi dalam peraturan daerah (perda). Tapi kekuatan hukum penjelasan pasal masih diperdebatkan, sehingga memungkinkan ada tafsir yang memuat norma selain hukum adat seperti hukum agama, norma kesusilaan, dan lainnya.
Baca:
Kasus-kardus-durian-masuk-penyelidikan-kpk-mengaku-ada-dilema/
Bisa jadi pada daerah tertentu hukum yang hidup bukan dari masyarakat hukum adat, tapi hukum dari kelompok mayoritas. Sehingga hukum kelompok mayoritas dan elit daerah berpotensi menyingkirkan masyarakat hukum adat. Hal itu semakin jelas karena definisi “hukum yang hidup” dalam RUU KUHP tergolong rancu apalagi nanti diatur dalam bentuk perda.
Nadya menduga praktiknya nanti majelis hakim yang menjatuhkan sanksi pidana, bukan ketua adat, dan tidak melalui pengadilan/sidang atau musyawarah di komunitas adat. Akibatnya proses penyelesaian perkara adat di komunitas dilepaskan nilai kesakralannya karena diganti proses formil pengadilan. Oleh karenanya tujuan living law RUU KUHP bukan mengakomodasi praktik pengadilan adat di komunitas sehingga tidak mengatur mengenai pengadilan adat.
“Bertentangan dengan self-determination masyarakat adat,” ujarnya.
Pengaturan living law RUU KUHP juga akan menghilangkan karakter dinamis hukum adat. Nadya menjelaskan hukum adat berkembang sesuai perubahan masyarakat. Mekanisme pendokumentasian hukum adat akan mengubah hukum adat menjadi kaku dan deduktif. Praktiknya banyak pengadilan adat menerapkan musyawarah. Hal itu berbeda dengan proses di pengadilan negeri. Sifat pengadilan adat juga beragam, bahkan dalam satu masyarakat hukum adat ada komunitas yang menjalankan kebiasaan yang berbeda-beda.
Living law yang nantinya dirumuskan dalam peraturan daerah menurut Nadya belum tentu partisipatif. Justru menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi distorsi dari elit politik. Harus dipahami hukum adat itu melekat pada tingkat komunitas, bukan pada suku atau daerah administratif.
“Bisa jadi dalam perumusan daerah tidak semua komunitas dilibatkan. Padahal hukum adat di setiap komunitas bisa berbeda,” urainya.
Tak ketinggalan Nadya menguraikan unsur masyarakat hukum adat meliputi wilayah, hukum, dan struktur pemerintahan adat. Faktanya selama ini membuktikan wilayah masyarakat hukum adat sering dirampas. RUU KUHP berpotensi merampas hak masyarakat hukum adat yang masih tersisa. (Syf)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)