Karena korbannya dari korupsi bukan individual tapi masyarakat. Kemudian dari sisi nilai keadilan apakah adil suatu kasus korupsi diterapkan restorative justice? Bagi pelaku iya, bagi masyarakat tidak
RUANGPOLITIK.COM — Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut hingga kini KPK masih terus mengkaji soal penerapan restorative justice kasus korupsi. Menurutnya hal itu menjadi salah upaya penyelesaian dalam pemberantasan korupsi.
“Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi,” kata Ghufron dalam keterangannya, Jumat (28/10/2022).
Ghufron mengatakan konsep restorative justice dalam tindak pidana korupsi tentunya berbeda dengan pidana umum. Misalnya, kata dia, pelaku korupsi yang biasanya bersifat komunal atau lebih dari satu tersangka.
“Sehingga, melihat tindak pidana korupsi tidak hanya selalu menggunakan sudut pandang kerugian keuangan negara saja. Lebih dari itu, korupsi memberikan dampak kerugian besar bagi rakyat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang dimiliki,” ujarnya.
Baca juga:
Jegal-anies-via-kpk-bisa-pancing-pemberontakan/
Namun, Ghufron mempertanyakan bagaimana jika hal yang dicederai oleh pelaku korupsi itu merupakan kepentingan publik, seperti dalam kasus suap. Dia juga masih memikirkan cara untuk menerapkan restorative justice dalam tindak pidana korupsi.
“Pertanyaannya kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi misal suap, di mana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dia lakukan, itu) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-restore-nya? Ini yang harus kita kaji bersama,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Ghufron menyebut KPK bakal terbuka dalam segala upaya pemberantasan korupsi. Tak terkecuali soal menampung gagasan penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi.
“KPK selalu terbuka terhadap aspirasi dari seluruh elemen masyarakat tentang cara-cara pemberantasan korupsi yang berlandaskan asas keadilan. Termasuk, KPK turut menampung aspirasi tentang penerapan restorative justice dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI, Narendra Jatna, menyebut restorative justice tak tepat diterapkan jika hanya melihat korupsi dari sudut pandang pengembalian nominal yang dikembalikan. Menurutnya, jumlah korupsi yang tinggi dibarengi dengan kasus pidana lain seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Jadi tidak mudah kalau menggunakan (restorative justice) itu semata-mata dalam konteks kacamata tindak pidana korupsi. Dan tidak mungkin juga kalau alasannya (uangnya) dikembalikan selesai (kasusnya) karena sangat dimungkinkan tindak pidana korupsi itu ada pembarengan dengan tindak pidana lain,” kata Narendra.
Namun, menurutnya, restorative justice dapat diterapkan dalam kasus-kasus korupsi khusus, misalnya pengembalian aset koruptor di luar negeri. Pasalnya, saat ini aset terdakwa korupsi yang di luar negeri masih susah untuk dikembalikan.
“Sejauh ini banyak koruptor yang menyimpan asetnya di luar negeri dan sangat sulit dikembalikan,” ujar dia.
Sementara itu, akademisi hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Umi Rozah, menegaskan pidana terhadap pelaku korupsi tetap harus ada. Menurutnya, koruptor harus bertanggung jawab kepada masyarakat yang telah dirugikannya.
“Proses pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi harus tetap ada. Hal itu sebagai pertanggungjawaban moral kepada masyarakat yang telah dirugikan dari tindakan yang dilakukan,” kata Umi Rozah.
Dia menegaskan penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi hanya bakal menguntungkan masyarakat. Padahal, kepentingan masyarakat merupakan hal yang utama.
“Karena korbannya dari korupsi bukan individual tapi masyarakat. Kemudian dari sisi nilai keadilan apakah adil suatu kasus korupsi diterapkan restorative justice? Bagi pelaku iya, bagi masyarakat tidak,” tegasnya.
Namun, dia juga menyebut restorative justice dapat dipertimbangkan saat plea bargaining di tahap penuntutan pengembalian kerugian negara. Akan tetapi, hal itu tidak serta-merta menghapus hukuman pidananya.
“Namun begitu, restorative justice bisa dipertimbangkan untuk sarana lain. Misalnya bisa digunakan sebagai plea bargaining di tahap penuntutan untuk mengembalikan kerugian negara tetapi hanya dijadikan sebagai alasan untuk meringankan pidana pada kasus korupsi besar. Tapi bukan serta-merta menghapuskan hukuman pidananya,” pungkasnya.
Restorative justice merupakan konsep penyelesaian tindak pidana secara damai dan bertoleransi kepada korban. Dalam hal ini, tersangka korupsi tidak akan dipidana jika restorative justice diterapkan di kasus korupsi.
Editor: Syafri Ario
(Rupol)