Oleh: Didik T. Atmaja
RUANGPOLITIK.COM — Partai Nasdem belum lama ini mengeluarkan keputusan yang bikin “geger” jagad politik nasional. Partai besutan Surya Paloh yang notabene pendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selama dua periode itu tiba-tiba mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Sontak, keputusan Nasdem sangat mengejutkan banyak kalangan baik praktisi, akademis maupun para peneliti. Terlebih, sosok Gubernur Jakarta itu diketahui tak masuk lingkaran istana atau kekuasaan Jokowi.
nfl jerseys cheap
nike air jordan 1 mid
nike air max 90 futura
jerseyscustomforsale
new adidas shoes
Human hair Wigs
natural hair wigs
nike air jordan for men
design custom soccer jersey
Natural wigs
sex toy shop
custom jerseys football
custom football jersey
custom hockey jersey
adidas outlet
sex toys
Ini merupakan sesuatu yang “wow”. Sosok yang digadang-gadang tak mungkin dekat dengan Nasdem tiba-tiba ditunjuk sebagai “jago” yang nantinya akan turut berkompetisi dalam pertarungan Pemilu 2024. Tapi bagaimanapun juga ini adalah perkara politik. Semuanya bergerak karena kepentingan. Boleh jadi saat yang lalu berperan sebagai oposisi, lalu saat ini bisa berkoalisi. Pun sebaliknya. Satu detik, suatu keputusan politik bisa berubah-ubah, dinamis.
Berbeda dengan Nasdem, partai pemenang Pemilu 2019 yakni PDIP hingga saat ini tampak belum melakukan sesuatu yang berarti. PDIP menyuguhkan fenomena menarik di tengah-tegah manuver partai-partai politik lainnya. Entah karena PDIP sudah terlanjur memberikan mandat penuh pemilihan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024 mendatang kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang masih diam hingga saat ini?
Ataukah sebagai partai penguasa, PDIP ingin membuktikan bahwa partai berlambang moncong putih itu tetap tenang, fokus, dan konsisten menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan hingga kelar? Entahlah, banyak kalangan masih mengira-ngira. Namanya juga perkiraan. Yang jelas, “diamnya” PDIP memunculkan teka-teki yang beragam.
Jika dicermati secara mendalam, fenomena masih “diamnya” PDIP ini justru berdampak adanya saling galang dukungan oleh para kader terhadap calon yang mereka inginkan, meskipun tidak secara terbuka. Kabar terbaru misalnya, ada faksi kader yang menghendaki Puan Maharani maju sebagai calon presiden. Mereka melihat, sosok Puan sebagai calon yang tepat, apalagi ia merupakan trah Sukarno.
Atas dasar itu, faksi yang mendukung Puan kemudian mendeklarasikan diri dengan membentuk “Dewan Kolonel”. Gerakan faksi ini pun tampak tak cukup berhenti di tataran deklarasi. Lebih jauh, poster dan baliho bergambar Ketua DPR itu kemudian marak di sejumlah kota. Bahkan, nama dan fotonya juga muncul di ruang-ruang beranda media sosial, media online, hingga media cetak.
Gerak-gerik cucu Sang Proklamator itu juga selalu disorot banyak kalangan, meski tak luput dari kritik netizen akibat video yang ditampilkan tidak mach dengan kondisi dan suasana yang melatarinya. Bahkan “setingan” video yang muncul dalam konten begitu kasar, terasa tak tulus, tidak pro rakyat.
Lantas, bagaimana dengan sosok Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo? Soal Ganjar, tak sedikit pula kader yang menghendaki sang gubernur sebagai calon presiden. Meski tak membentuk langsung gerakan tandingan Dewan Kolonel, simpatisan Ganjar Pranowo terlihat begitu rapi dan seakan terbentuk alamiah. Gubernur berambut putih yang aktif bermedsos ini juga memiliki barisan simpatisan tersendiri di luar struktural partai.
Tak sedikit masyarakat yang loyal dan mendukung setiap gerakan Ganjar yang diwakilkan lewat konten-konten yang diproduksinya itu. Meski tak punya hak dalam menentukan calon presiden dari partai Megawati, barisan Ganjaris secara tak langsung juga mengangkat elektabilitas gubernur Jateng dua periode itu. Sayangnya, hingga saat ini Megawati tak kunjung memberikan sinyal siapa “petugas partai” yang akan ditunjuk untuk berkompetisi di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Sikap PDIP yang hingga saat ini belum menentukan siapa capres andalannya sebenarnya bukan hal yang baru. Gaya politik PDIP yang sulit ditebak sebenarnya sudah sering terjadi. Antara lain seperti pada saat memilih Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur Jateng, hingga pemilihan Jokowi sebagai capres 2014 lalu.
Sebagai partai yang sudah kenyang makan garam, PDIP tentu memiliki analisis mendalam terkait siapa sosok yang tepat menjadi capresnya. Cukup sulit dan sangat disayangkan, jika PDIP meninggalkan sosok Ganjar dan lebih memilih Puan sebagai calonnya. Apalagi ditinjau dari hasil survei, nama Ganjar cukup potensial untuk dipertaruhkan.
Berkaca hasil survei Charta Politika yang dirilis Kamis (29/9), figur Ganjar Pranowo tembus mencapai 31,1% di antara bakal capres potensial lainnya. Sedangkan nama Prabowo Subianto berada di urutan kedua sebesar 24,4% serta Anies Baswedan di urutan ketiga sebesar 20,6%. Ridwan Kamil berada di urutan keempat yakni 7,2%, disusul Sandiaga Uno sebesar 2,5% dan Puan Maharani 2,4%. Dalam kalkulasi lima besar, nama Puan tidak termasuk dalam hitungan.
Dalam rilisan Lembaga survei Political Statistics (POLSTAT) nama Ganjar juga disebut berada di urutan kedua dengan perolehan 19,8%, sedangkan Prabowo menempati posisi pertama sebesar 31,2%. Dari hasil survei POLSTAT, nama Puan juga disebutkan berada di posisi keenam sebesar 4,8%, di bawah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebesar 5,4% (detikcom, 16/9).
Saya yakin, PDIP adalah partai yang rasional. Dengan berkaca pada hasil survei, tentu tak gegabah memutuskan Puan Maharani sebagai figur andalannya. Apalagi nama Puan masih sangat jauh menempati posisi lima besar atau bahkan tiga besar sebagai sosok yang diperhitungkan publik. Jika belakangan ini PDIP memunculkan nama Puan dan disorot oleh lembaga survei sebagai objek penelitiannya, itu hanyalah cara PDIP dalam mendongkrak nama Puan.
Sang ibunda yang juga Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri paham betul, Puan masih banyak waktu untuk terus berproses. Sembari mematangkan kedewasaannya dalam berpolitik, tiada salahnya nama Puan didongkrak untuk pemilu-pemilu yang akan datang. Sedangkan Ganjar, selain juga kader dan memiliki mesin politik yang sudah tertata dengan baik juga sangat potensial sebagai figur capres 2024 ditinjau dari elektabilitas yang dimilikinya. Namanya selalu diposisi tiga besar hasil survei nasional. Selain rekam jejak dan pengalaman memimpin dengan baik, popularitas yang dimilikinya juga cukup bagus sekaligus bisa diandalkan.
Simpulannya, sikap PDIP yang hingga kini belum menentukan capres dan membiarkan kader saling menggalang dukungan secara diam-diam tidak lain adalah taktik belaka dalam mendongkrak Puan Maharani untuk pemilu-pemilu yang akan datang. PDIP akan merasa rugi jika mengabaikan potensi Ganjar Pranowo dengan segala potensi dan elektabilitas yang bagus. Apakah tidak sayang jika Ganjar dicapreskan oleh partai lain?
Didik T. Atmaja alumnus FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang. Pegiat pada Sino Nusantara Institute
Editor: Syafri Ario
(Rupol)