RUANGPOLITIK.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus melakukan penyelidikan dan pemantauan dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menjelaskan bahwa dalam kasus ini pihaknya bertindak sebagai pengawas eksternal Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani bersama Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dalam proses penyeledikan yang dilakukan, Taufan menyebutkan bahwa Komnas HAM berupaya mengawal penegakkan hukum yang adil dari awal sampai persidangan.
“Sehingga mendapatkan keadilan bagi para pihak atau disebut acces to justice,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (11/8/2022).
Berita Terkait:
Motif Ferdy Sambo di Kasus Penembakan Brigadir J Jadi Sorotan, Ini Penjelasan Kapolri…
Terkait Penembakan Brigadir J, Irjen Ferdi Sambo Menjadi Tersangka
Ketua DPR RI: Publik Menunggu Penuntasan Kasus Penembakan Brigadir J Secara Transparan
Penembakan di Rumah Kadiv Propam, Kapolri: Terkait Dua Kasus Pidana
Terkait dengan dugaan kasus kekerasan seksual, Putri Candrawathi belum tentu merupakan korban dalam kasus ini.
Meski begitu, Putri Candrawathi tetap harus diberlakukan sebagai korban meski saat ini belum ada bukti. Hal itu sudah sesuai dengan standar HAM internasional yang berlaku.
“Perlakuan terhadap dia sebagai seorang korban itu bukan berarti sudah ada kesimpulan dia benar-benar seorang korban,” katanya.
Menurut Taufan, perlakuan itu dalam rangka menghormati dan mengupayakan langkah-langkah terbaik bagi Putri Candrawathi supaya bisa dimintai keterangan yang sejelas-jelasnya terkait dugaan kekerasan seksual.
Diketahui, saat ini Polri telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J.
Keempat orang tersangka tersebut di antaranya Bharada E, Bripka Ricky, KM, dan Irjen Ferdy Sambo.
Hasil pemeriksaan keempat tersangka, menurut perannya masing-masing, penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.(FSL)
Editor: Zulfa Simatur
(RuPol)