RUANGPOLITIK.COM-Ahli Hukum Pidana Dr. Eddy Rifai, SH, MH mengatakan terkait polemik warga yang menewaskan dua begal sudah ada rujukannya dalam KUHP.
Eddy Rifai, Minggu (17/4/2022), mengapresiasi sikap tegas Kapolda Lampung Irjen Pol. Hendro Sugiatno yang malah akan memberi hadiah kepada warga yang berhasil melumpuhkan begal.
Alasan kandidat profesor dari Universitas Lampung itu, pernyataan Kapolda sejalan dengan Pasal 49 KUHP, tertulis:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 49 KUHP tersebut mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat.
Berita Terkait:
Ade Armando Dikeroyok, Ketum DPP KNPI: Polisi Pastikan Pelaku Diproses Hukum
Herry Wirawan Divonis Mati. CSIIS: Kovenan Sipol Menentang Hukuman Mati
Pengamat: Parpol Pengusung Penundaan Pemilu Akan Dihukum Masyarakat
SMRC: Penegakan Hukum Cenderung Negatif Dalam 3 Tahun Terakhir
Menurut pasal ini, orang yang melakukan pembelaan darurat tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum.
Syarat-syarat pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal” (hal. 65-66), yaitu:
- Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain.
Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti, misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
- Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
- Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga
Soesilo memberi contoh “pembelaan darurat” (Pasal 49 ayat [1] KUHP) yaitu seorang pencuri mengambil barang orang lain, kemudian si pencuri menyerang orang yang punya barang itu dengan pisau belati.
Di sini, orang itu boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak.
Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya itu telah tertangkap, maka orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri, baik terhadap barang maupun orangnya.
Kemudian, Soesilo juga memberikan contoh “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer-exces (Pasal 49 ayat [2] KUHP).
Misalnya seorang polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri.
Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat, maka polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.
Jadi, berdasarkan uraian di atas kiranya dapat dikatakan bahwa KUHP mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan diri atau barangnya dari serangan yang melawan hak.
Pembelaan darurat dalam rangka mempertahankan diri tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah atau dikatakan main hakim sendiri (Hukum online, 2012).
Jika si korban begal yang menyebabkan si pelaku begal mati tersebut dapat membuktikan di sidang pengadilan bahwa perbuatannya itu dilakukan dalam rangka pembelaan darurat, maka dia tidak dapat dihukum.
Tetapi, apabila terdapat pelaku begal yang tertangkap dalam keadaan hidup, kemudian dihakimi sampai mati, tidak termasuk pembelaan darurat.
Penggunaan Kekerasan
Dalam KUHP tidak ada definisi penggunaan kekerasan, yang ada pengertian kekerasan dalam Pasal 89 KUHP yang disamakan dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya.
Dalam doktrin, penggunaan kekerasan diartikan menggunakan tenaga dan daya upaya yang tidak sedikit, dapat juga dilakukan dengan alat seperti kayu, senjata tajam, senjata tumpul dan senjata api.
Bagi masyarakat yang menyalahgunakan kekerasan diancam dengan pidana penganiayaan atau pembunuhan, sedangkan bagi polisi penggunaan kekerasan dan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap).
Dulu pernah terjadi seorang perwira tinggi di Polda Lampung menjadi tersangka pembunuhan dalam pengamanan unjuk rasa di hutan register Tulang Bawang yang mengakibatkan 1 orang luka tembak di kaki dan 1 orang luka tembak di bokong (meninggal dunia).
Waktu saya diminta menjadi ahli, saya menyatakan bahwa polisi yang diserang dengan menggunakan senjata parang, kemudian menembak kaki pelaku adalah membela diri, sedangkan polisi yang menggunakan senjata menembak ke tubuh sehingga korban meninggal dunia bukanlah membela diri.
“Ukuran yang saya pakai adalah apakah ada niat jahat (mens rea) dari polisi dalam membela diri dengan menggunakan senjata api. Begitu pula perlu diukur adanya mens rea dalam pembelaan diri yang dilakukan masyarakat dalam melawan begal,” tutupnya. (HER)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)