Oleh: Prof. Saiful Mujani
RUANGPOLITIK.COM — Pemilihan Rektor UIN Jakarta tidak transparan dan langsung ditetapkan oleh Menteri Agama (Menag). Dan kebijakan ini diatur sejak 2015. Proses ‘campur tangan’ Menag ini ditentang oleh Guru Besar UIN Saiful Mujani, Selasa (15/10).
Sebelumnya diketahui, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani memastikan pemilihan rektor di Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) Negeri yang merujuk pada Peraturan Menteri Agama No 68 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada PTK masih relevan untuk dilakukan.
“Saat ini sedang berjalan pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Prosesnya sudah memasuki fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi Seleksi (Komsel). Sejauh ini, Kemenag menilai PMA No 68 Tahun 2015 masih relevan sehingga proses pemilihan tetap merujuk pada regulasi yang ada,” kata pria yang akrab disapa Dhani itu dalam keterangannya, Selasa (15/11).
Pemilihan dengan cara ini dikritik Guru Besar Ilmu Politik ini dengan lantang.
“Mau-maunya menteri aja mau milih siapa. UIN dan senat universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah,” kata Saiful dengan keras.
Saiful menilai cara seperti demikian tak mencerminkan proses transparansi. Sebagai pengajar di kampus itu, bahkan mengaku malu melihat proses pemilihan rektor seperti demikian.
“Kasak kusuk lobby alternatifnya. Sebagai guru di kampus ini malu rasanya. Saya pernah bersuara agar pemilihan rektor dengan cara jahiliah ini diboikot saja. Tapi tidak ada yang dengar,” kata dia.
Ia kembali mengkritik keras Kemenag bahwa pemilihan rektor tersebut politis dan tidak akademis.
“Respon terhadap respon Kemenag cq Dirjen Pendidikan Islam tentang pemilihan rektor UIN. Dikatakan pemilihan rektor oleh senat politis, tidak akademik. Itu tidak benar,” tegasnya.
Profesor Syaiful Mujani mempertanyakan kalau pemilihan rektor oleh senat dinilai politis, apa pemilihan rektor oleh tim seleksi yang ditentukan Menag tidak politis? Apakah keputusan siapa yang dipilih jadi rektor oleh menag tidak politis? Semuanya pasti politis, oleh senat maupun Menag. Isu politis tidak relevan.
“Pemilihan rektor oleh seorang diri Menag maupun senat sama politik dalam skala kementrian dan kampus. Bedanya, pemilihan oleh Menag sendiri jahiliyah: tak beradab, bertentangan dengan nilai2 masyarakat terpelajar/kampus yang mengedepankan partisipasi dari bawah dalam memilih pemimpin,” kritiknya.
Karena itu, Guru Besar Ilmu Politik ini mengatakan, jika pemilihan rektor oleh senat beradab karena mengedepankan norma-norma komunitas terpelajar: partisipasi, transparan, kompetitif, berdebat, konsensus atau voting dengan suara terbanyak. Nilai-nilai ini tidak ada di dalam prosedur pemilihan rektor yang berlaku sekarang di Kemenag.
“Senat dilibatkan hanya untuk inventaris nama-nama calon dan administrasi. Memang ada penilaian kualitatif tapi tidak menentukan karena senat tidak punya hak pilih. Dalam aturan Kemenag sekarang tidak ada mekanisme kontrol bahwa penilaian itu diterjemahkan ke dalam keputusan akhir,” ulasnya.
“Dalam pemilihan rektor UIN Jakarta sekarang, ada 17 nama calon. Semua ya harus diserahkan ke Kemenag. Senat tidak punya suara misalnya hanya untuk mengerucutkan nama dari 17 ke 10 misalnya. Tidak ada aturannya di Kemenag,” terangnya.
Ia mempertanyakan dari 17 calon itu akan diseleksi oleh tim Kemenag? Siapa yg memilih tim ini? Kemenag. Mereka profesor semua dan bukan orang sembarangan? Apakah mereka lebih tahu UIN Ciputat dibanding anggota Senat UIN sendiri? Kami Senat di UIN Ciputat juga puluhan profesor.
“Profesor kami di Senat ini komponen utama yang membuat UIN Ciputat salah satu yang terbaik selama ini, atau bahkan yang terbaik sepanjang sejarah UIN dan Depag/Kemenag. Apakah suara mereka ini tidak layak dihargai?” ucap Profesor Saiful Mujani.
Ia menambahkan, jika dikatakan bahwa proses pemilihan rektor di kampus menimbulkan konflik. Konflik itu bagian dari masyarakat beradab & punya mekanisme untuk mengatasinya. UIN Ciputat tidak punya record konflik pemilihan rektor tak terselesaikan secara beradab sepanjang sejarahnya. Umumnya UIN lain juga.
“Memang ada IAIN/STAIN di bawah Depag/Kemenag punya masalah dalam pemilihan rektor, tapi sangat sedikit kasusnya. Tidak bisa jadi dasar untuk membuat kebijakan nasional. Tangani saja kasus per kasus,” pungkasnya.
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Politik di FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Editor: Ivo Yasmiati