RUANGPOLITIK.COM — Informasi mengenai macetnya beasiswa MORA 5000 Doktor-LPDP dari Kementerian Agama di Australia yang sudah sembilan bulan ini sangat memprihatinkan. Pasalnya 80 orang yang mengikuti program ini nasibnya terkatung-katung saat berada di Austalia. Perwakilan penerima beasiswa, Imam Malik Riduan mengungkapkan Kementerian Agama sebagai pemberi beasiswa belum mentransfer komponen-komponen beasiswa seperti tunjangan hidup bulanan, uang SPP (Tuition fee).
“Kami benar-benar dalam kondisi sulit dua tahun terakhir ini, pada tahun 2021 agenda riset kami berantakan karena pandemik yang melanda, untuk itu tahun ini kami terpaksa harus kuliah dengan cara part-time, kuliah sambal bekerja, karena pemerintah belum mentransfer biaya hidup, sementara biaya hidup dan akomodasi di Australia melangit karena krisis global”, ujar Malik pada wartawan Jumat (28/10/2022).
Menyikapi hal ini Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Sholeh Basyari atau yang biasa dipanggil Gus Sholeh mengkritik agar program beasiswa ini dikaji ulang yang dilakukan langsung oleh Kementrian Agama.
“Menag idealnya meninjau ulang skema beasiswa Mora-LPDP ini. Hal ini penting agar sistem budget scholarship tidak tumpang tindih. Secara teknis, peninjauan ulang bisa dilakukan dengan mengembalikan program ini kepada induknya yakni: LPDP,” tegasnya.
Dan Gus Sholeh juga meminta agar DPR segera meminta klarifikasi kepada LPDP kenapa pemberian beasiswa ini macet. Yang dinilai sangat merugikan 80 orang yang mengikuti program ini. Ia meminta agar DPR mengambil sikap tegas perihal ini.
“Ketua komisi x DPR RI harus meminta klarifikasi kepada direktur LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan) Kemenkeu. Yg lebih penting lagi,harus ada klarifikasi kenapa hanya di Australia beasiswa ngadat?” tegasnya.
Untuk itu Direktur Eksekutif CSISS ini meminta agra pemberian beasiswa ini dikaji ulang, termasuk negara yang diajak kerjasama yakni Australia, seperti apa program kerjasama yang dijalin selama ini. Dan meminta agar adanya transparansi didalam manajemen pemberian beasiswa ini, baik penyelenggara maupun penerima beasiswa. Karena sangat penting mempertanyakan kembali apa yang sudah diberikan oleh kandidat Doktoral ini bagi keimuan.
“Secara akademik, kerjasama model ini dengan Australia harus diperketat. Bukan saja agar semua transparan dan terukur, lebih dari itu juga untuk evaluasi fair tidaknya penerima beasiswa. Juga apa sumbangan alumni beasiswa ini khususnya pada pengembangan keilmuan Islam di Indonesia?” ucap Gus Sholeh dengan kritis.
Sebelumnya diketahui, Malik kandidat doktor dari School of Social Sciences, Western Sydney University mengungkapkan harus bekerja 7 jam per hari sebagai petugas kebersihan di sebuah sekolah agar bisa bertahan hidup di Australia.
“Saya harus pindah-pindah tempat tinggal, cari orang lagi lagi pulang kampung biar saya bisa dapat sewa murah,” ujar Malik. “Lalu dengan kesibukan-kesibukan itu kapan kami bisa analisis data dan menulis.”
Malik yang juga Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, mengatakan mahasiswa penerima beasiswa Mora 5000 Doktor sebelumnya telah berusaha melakukan komunikasi Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama sebagai pihak pengelola.
Diktis kemudian mengirimkan surat penjelasan kepada pihak kampus bahwa keterlambatan pembayaran SPP kepada universitas di Australia terjadi karena perubahan manajemen pengelola beasiswa.
“Hanya saja, surat itu dikirimkan pada kampus yang minta saja. Ada juga kampus yang tidak nagih, mahasiswa kena warning, visa mau dicabut,” ujar Malik.
Koordinator awardee MORA 5000 Doktor-LPDP di Australia, Roko Patria Jati mengatakan telah memulai komunikasi sejak Maret 2022 dengan mengirimkan surat permintaan klarifikasi mengenai kelanjutan beasiswa kepada Direktur Diktis. Komunikasi lewat rapat virtual dengan Kementerian Agama dan LPDP pun telah dilakukan beberapa kali.
Menurut Roko, tujuan aksi mendatangi perwakilan pemerintah Indonesia di Australia adalah untuk meminta Duta Besar Indonesia menyampaikan pesan mahasiswa kepada Menteri Agama H. Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
“Aksi ini dilakukan karena mereka merasa keterlambatan proses pencairan sudah tidak wajar, sementara komunikasi dengan para pihak sudah dilakukan puluhan kali, termasuk dengan Kementerian Agama dan LPDP,” ujar kandidat doktor di Western Sydney University itu.
Sementara menurut Malik, aksi mendatangi perwakilan pemerintah di Australia ditujukan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam skala yang lebih luas, bukan hanya untuk pengelola program saat ini saja. Pasalnya persoalan beasiswa terlambat telah terjadi sebelumnya dan tidak kunjung ada perbaikan yang berarti.
“Birokrasi kita ini bermasalah, niat mendongkrak SDM dengan memberi beasiswa ini sangat mulia, akan tetapi tanpa dibarengi dengan tata kelola yang baik serta pengelola yang cakap, selain menelantarkan anak bangsa juga mempermalukan tanah air,” kata Malik.
Editor: Ivo Yasmiati