Oleh: Arifin S Harahap Dosen Fikom Universitas Esa Unggul, mantan jurnalis
RUANGPOLITIK.COM – Betapa memilukan, bencana kelaparan kembali terjadi di negeri seribu bahasa tanah Papua . Krisis yang terjadi di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah mengakibatkan enam orang meninggal dunia. BNPB menyebutkan, sekitar 7.500 – 8.000 warga terdampak secara langsung karena cuaca dingin ekstrem membuat tanaman umbi-umbian yang menjadi makanan pokok warga setempat membusuk.
Warga pun akhirnya tidak memiliki bahan pangan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah akan membangun gudang stok pangan dan beberapa infrastuktur di sana untuk mengatasi kelaparan itu. (Sindonews.com, 18/8/2023).
Ironis memang, setiap terjadi kelaparan di Papua, lebih banyak dipersoalkan terkait kegagalan sistem pangan di sana karena cuaca dingin ekstrem.
Penanganan sistem pangan oleh pemerintah sebetulnya hanya masalah darurat, bukan mengatasi persoalan jangka panjang. Bila kita merunut ke masa lalu, masalah kelaparan di Papua sudah berulang kali terjadi sejak tahun 1980-an hingga kini. Kasus kelaparan terparah terjadi tahun 1998 di Jayawijaya.
Saat itu, lebih dari 430 orang tewas, dan 90.000 jiwa terancam kelaparan. Berarti, hingga kini kasus kelaparan ini masih kerap berulang di Papua.
Sebetulnya masalah ini bisa ditangani dengan baik bila disadari karakteristik wilayah Papua sangat berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Akar masalah kelaparan yang terus berulang cenderung terkait pendidikan dan budaya yang belum tertangani dengan baik di sana. Masalah pendidikan mestinya menjadi salah satu skala prioritas yang mesti ditangani secara berkesinambungan bagi warga di pedalaman Papua.
Ketimpangan pendidikan penduduk Papua sangat ironis, Data BPS 2022 menyebutkan, 33,58 persen penduduk Papua tak punya ijazah, dan yang berpendidikan tinggi hanya sekiar 8,63 persen. Ini berarti, 91 persen penduduk Papua pendidikannya di bawah perguruan tinggi.
Bagaimana mungkin mereka dapat menyejahterakan hidup dengan tingkat pendidikan seperti itu di zaman modern ini? Soal budaya yang mengakar kuat untuk menetap di bukit tinggi bagi warga pedalaman juga belum tertangani dengan baik hingga kini. Padahal setiap kali musibah kelaparan terjadi, warga yang menetap di pedalamanlah yang menderita.
Mereka yang bermukim di pedalaman sulit dijangkau dengan transportasi, baik melalui darat dan udara karena tinggal di punggung bukit terjal yang sulit dijangkau.Tinggal di pegunungan atau punggung bukit memang sudah menjadi tradisi bagi penduduk di pedalaman Papua secara turun temurun. Tradisi lama warga bermukim di punggung bukit pedalaman memang sudah menjadi kebiasaan sejak masa lalu, karena perang antarsuku kerap terjadi.
Bila mereka tinggal di punggung bukit akan mudah mengetahui dan menghindari serangan lawan yang datang secara tiba-tiba bila terjadi perang antarsuku. Perang antarsuku memang masih terjadi, dan sulit diatasi hingga saat ini di wilayah Papua. Namun, konflik klasik ini memang mulai bergeser dari sifat primordialisme antarsuku di masa lalu bermutasi menjadi perebutan jabatan birokrasi, ekonomi dan lainnya.
Ironisnya lagi, kelompok suku asli di Papua terdiri atas sekitar 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda sehingga amat sulit untuk ditangani.
Home Opini Kelaparan Berulang di Papua, Faktor Budaya Penghambat Penanganan Arifin S Harahap Rabu, 30 Agustus 2023 – 10:16 WIB views: 4.187 A A A Mereka enggan berpindah ke wilayah kota karena ada kepercayaan soal keketerikatan dengan roh para leluhur atau keluarga yang telah meninggal di tempat tersebut.
Bagi mereka, berpindah dari tempat tersebut sama artinya meninggalkan dan menelantarkan leluhur mereka. Bahkan mereka punya prinsip, bagaimanapun sulitnya dan menderitanya di daerah leluhur, lebih baik tetap bertahan dan rela mati daripada harus meninggalkan leluhur mereka. Kebiasaan mereka tinggal di punggung bukit tinggi juga untuk menghindari penyakit malaria.
Penyakit malaria merupakan penyakit yang diwaspadai karena banyak warga yang bertempat tinggal pada ketinggian di atas 2000 meter. Mereka memperoleh pengetahuan secara turun-temurun, bahwa malaria hanya bisa berkembang di daerah panas atau di lembah bukit. Kekeringan dan cuaca dingin ekstrem di Kabupaten Puncak, Papua Tengah merupakan fenomena tahunan yang biasa terjadi mulai bulan Mei, Juni, hingga Juli.
Kebiasaan mereka tinggal di punggung bukit inilah yang sebenarnya yang semakin memperparah musibah kelaparan. Kalau saja mereka mau turun dari punggung bukit dan bercocok tanam di lembah, sebenarnya kekeringan yang mengakibatkan musibah kelaparan tidak perlu terjadi, dan separah saat ini. Mereka yang sudah tinggal di lembah tak ada yang dilaporkan menderita kelaparan secara massal.
Pengairan dan cuaca di lembah bukit sangat baik, dan tidak ada yang dilaporkan kekeringan lahan pertanian hingga saat ini. Sungai-sungai di lembah bukit hingga saat ini masih mengalir dengan baik dan tidak ada yang dilaporkan kekeringan. Air sungai tentu bisa dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian.
Menarik mereka turun ke lembah memang bukan persoalan yang mudah mengingat tradisi lama mereka yang masih mengakar tinggal di punggung bukit. Pemerintah pun sudah lama mengupayakan dengan membuat tempat tinggal mereka yang layak sebagai percontohan untuk memikat warga pedalaman berpindah ke lembah.
Tempat dan lahan pertanian yang diberikan secara gratis pun, akhirnya mereka tinggalkan. Mereka kembali ke punggung-punggung bukit, hingga proyek perumahan yang disediakan pemerintah pun sia-sia. Proyek modernisasi dengan segera meninggalkan kebudayaan mereka memang tak mungkin dipaksakan. Sama halnya seperti yang diusahakan sejak lama untuk mengganti koteka bagi pria dan sali bagi wanita sulit dilakukan hingga saat ini sekalipun mereka mampu membeli pakaian.
Ada nilai-nilai dari leluhur nenek moyang yang mengakar kuat untuk mempertahankan tradisi warisan budaya. Bagi mereka, pakaian adat tidak hanya sebagai penutup tubuh, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi mereka. Pada awal tahun 1970-an sudah muncul gagasan untuk membuat masyarakat segera meninggalkan pakaian adat seperti koteka melalui program “Operasi Koteka”.
Sebagai gantinya, celana pendek untuk laki-laki dan sarung bagi perempuan. Hasilnya, lebih dari 50 tahun berlalu hingga saat ini warga masih menggunankan koteka. Jadi, memberi pemecahan modernisasi pertanian sangat sulit dilakukan bila tak memecahkannnya melalui akar budaya setempat Untuk memecahkan persoalan dan menanggulangi musibah kelaparan bila musim kekeringan berkepanjangan terjadi di pedalaman Papua, secara bertahap hanya efektif bila meningkatkan pengetahun, dan pendidikan bagi generasi mudanya. Berikan beasiswa pendidikan secara kontinu dan konsisten bagi generasi muda untuk menempuh pendidikan di rantau.
Program ini jangan hanya bersifat sporadis. Mereka yang sudah terdidik, wajib kembali ke daerah asal untuk menularkan nilai-nilai baru bagi warga lain di pedalaman dengan jangka waktu tertentu. Proses dan hasilnya senantiasa dikaji untuk program berikutnya agar lebih baik. Ini memang memakan waktu yang lama, tapi bukan tidak mungkin berjalan dengan cepat asal serius dan berkesinambungan.
Sampai kapan pun kalau faktor budaya ini tak ditangani dengan baik agaknya musibah kelaparan di Papua tetap akan berulang. Harus menjadi catatan, kebudayaan masyarakat Papua bersifat “ämbivalen”, bermuka dua. Dalam kebudayaan masyarakat Papua, ada unsur-unsur menghambat, tapi ada yang dapat menjadi faktor pendorong ke arah kemajuan masyarakatnya. Inilah yang harus dicermati dengan baik untuk mengubah kebiasaan dan mengembangkan mereka.
Konsep apa pun yang hendak dilaksanakan untuk mengubah kebiasaan masyarakat pedalaman Papua, hendaknya harus dapat menangkap alam pikiran, nilai-nilai budaya, sehingga program yang hendak diterapkan pemerintah dapat berjalan dan bermakna bagi kehidupan mereka.
“Apuni inyamukut erek halok yugunat tosu,” artinya berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap sesama.
Begitu pepatah mereka di satu daerah yang patut kita renungkan…
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)