Ditambahkannya, kita harus pisahkan antara kritik yang produktif dan kritik yang dibungkus dengan agenda
RUANGPOLITIK.COM —Pakar komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan diksi hinaan yang diutarakan Rocky Gerung kepada Presiden Joko Widodo telah kebablasan di era demokrasi saat ini.
Menurutnya, Indonesia menganut demokrasi yang berasaskan nilai Pancasila. Di dalamnya ada kata kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga demokrasi yang Indonesia akui adalah demokrasi yang beradab. Keberadaban sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia termasuk etika, kesopanan dan menghargai orang lain.
“Saya melihat ada diksi yang muncul akhir pekan ini yang tidak tepat. Inilah contoh demokrasi yang kebablasan. Tentunya apa yang disampaikan dengan diksi itu sama sekali tidak pas,” ungkapnya, Rabu (2/8/2023).
Ditambahkannya, kita harus pisahkan antara kritik yang produktif dan kritik yang dibungkus dengan agenda.
“Saya melihat Rocky Gerung kalau saya pelajari rekam jejaknya di dunia digital, dia kerap mengungkapkan kritik tidak produktif ke Presiden Jokowi,” jelasnya.
Dari sudut ilmu komunikasi tentunya pesan tersebut sangat tidak tepat, penerapan ilmu pengetahuan tidak boleh lepas dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, di relasi antar manusia.
Di dalam komunikasi, pesan komunikasi yang disampaikan tidak ada yang bebas, harus terikat dengan nilai-nilai tertentu.
“Saya berpendapat bahwa itu adalah merendahkan orang lain. Bukan hanya Presiden Jokowi, tetapi dia juga merendahkan para pemirsanya dan merendahkan dirinya sendiri. Padahal dalam komunikasi hendaknya kita harus berposisi egaliter dan ada kesetaraan,” ujar dosen pascasarjana UPH itu.
Diksi-diksi yang dibangun oleh Rocky Gerung selama ini memposisikan bahwa dirinya superior dan orang lain inferior, orang lain lebih rendah dari dirinya, tegasnya.
Dari sudut komunikasi, hendaknya bisa mengemukakan fakta, data, dan kelemahannya, jangan sampai menyebut nama orangnya. Sebut saja programnya. Tetapi ketika sudah terucap kata-kata hinaan, itu sudah personal kan dan sangat tidak baik.
“Saya melihat bahwa ketika UU ITE dipakai, maka sangat berpeluang Rocky Gerung untuk diproses di pengadilan, dan nanti akan berdebat di situ para pakar dan para ahli yang diajukan oleh para jaksa dan para pengacara pembela Rocky Gerung,” ungkapnya.
Menurutnya, kritik yang dilakukan oleh Rocky Gerung sangat di luar adab dan sudah kebablasan. Jadi harus bisa dibedakan keterbukaan komunikasi, tetapi kita tidak setuju dengan keterbukaan yang mendiskreditkan orang lain.
Maksud dari keterbukaan adalah terbuka tentang fakta, data dan bukti. Bukan berarti memberikan ungkapan yang memposisikan orang lain tidak nyaman, karena manusia ketika berkomunikasi dengan orang lain tidak lepas dari nilai tertentu. Karena itu setiap negara memiliki landasan dan nilai yang digunakan.
“Saya beranggapan bahwa apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung ini sangat tidak baik, apalagi sekarang dia melakukan pembenaran, padahal apabila dicek makna di balik itu dengan narasi dan konteks dia berkomunikasi, selain itu tidak ada Presiden Jokowi di sana kalau dikatakan itu persahabatan, maka itu adalah pembelaan diri,” papar dia.
“Dia lupa dalam pesan komunikasi, lambang dan makna itu bisa berubah. Jadi makna itu jangan semakna-makna dilihat dari historikalnya, namun harus dilihat pergeseran makna dan konteks komunikasinya,” ucapnya.
“Saya melihat konteks komunikasi yang dilakukan Rocky Gerung di situ sama sekali tidak ada konteks persahabatan,” sambungnya.
Emrus menyatakan bahwa ini adalah pesan komunikasi yang dilakukan Rocky Gerung dengan tidak produktif dan yang paling bahayanya adalah dalam konteks pendidikan, apakah pesan seperti itu adalah pesan pendidik? Padahal dia berprofesi sebagai pendidik.
Ia melihat dalam akun itu sudah diakses oleh lebih dari 1 juta orang. Kalau hal itu diikuti oleh penonton dan ditiru, maka jelas saja itu tidak bagus.
“Saya kira tidak salah agar Rocky Gerung meminta maaf kepada publik dan kepada Presiden Jokowi. Apa yang dikatakannya itu sudah offside, keterlaluan dan pesan yang tidak beradab,” ujarnya.
“Kita sudah memilih negara kita adalah negara demokrasi, salah satu kriterianya adalah kebebasan berpendapat, namun dalam kebebasan tersebut bukan tanpa batas, melainkan pasti ada nilainya karena paling tidak ada norma yang kita hormati bersama dan dibentuk di dalam suatu masyarakat karena sesungguhnya makna dari suatu simbol adalah makna sosial, sehingga kita memaknai sesuatu karena proses sosial yang terjadi,” tutup Emrus.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)