Sebab, barang-barang eks impor, semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik.
RUANGPOLITIK.COM —Fatmawati adalah sosok penting dalam Proklamasi Kemerdekaan. Isteri dan Presiden Seokarno ini lah yang menjahit bendera merah putih yang kemudian dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
“Pada waktu itu tidak mudah mendapatkan kain merah dan putih di luar,” tulis Chaerul Basri dalam artikelnya “Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001.
Sebab, barang-barang eks impor, semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik.
Selain menjahit bendera, Fatmawati juga satu-satunya perempuan yang ikut diculik bersama Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat pada 16 Agustus 1945. Kala itu, Fatmawati harus membawa anaknya yang masih kecil, Guntur Soekarnoputra.
Dalam penculikan itu, terjadi sedikit ketegangan sebab suasana yang tidak menentu sehabis Jepang kalah perang. Sebagian pemuda ada yang meminta menunggu. Namun, sebagian menginginkan kembali ke Jakarta, karena banyak urusan yang harus diselesaikan.
Fatmawati salah seorang yang ikut protes dan mendesak segera pulang ke Jakarta. “Kalau buat Bung tidak apa-apa, tetapi bagaimana Guntur. Kalau kita masih tinggal sampai besok pagi. Susu sedikit yang diberikan untuk dia tadi dan sekarang sudah habis. Ayo Bung, kita pulang sekarang,” kata Fatmawati, seperti dituturkan Bung Hatta dalam buku “Menuju Gerbang Kemerdekaan” (Penerbit KOMPAS, 2011).
Rupanya, protes Fatmawati diperkuat oleh pemuda lain seperti Soekarni dan Soetarjo. Akhirnya hari itu juga Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan sejumlah pemuda kembali ke Jakarta. Mereka tiba di ibu kota ketika hari sudah malam, dan dilanjutkan dengan rapat persiapan kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda.
Esoknya, 17 Agustus 1945 proklamasi dibacakan.
Setelah kemerdekaan, pada Desember tahun itu juga diadakan perjalanan Bung Karno-Hatta ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka ditemani oleh sejumlah manteri yang belum lama dilantik, seperti Menteri Penerangan Amir Sjarifudin, Menteri Kesehatan Dr Darmasetiawan dan Menteri Pekerjaan Umum Ir Putuhena.
Bung Karno ditemani oleh Fatmawati, sementara Rahmi, isteri Bung Hatta tidak bisa ikut.
Rombongan singgah di beberapa kota untuk memberikan pidato, menyampaikan berita tentang Indonesia merdeka. Saat perjalanan tiba di Cirebon, diadakan rapat raksasa di pagi yang cerah. Sebelum Bung Karno berpidato, dia meminta kepada isterinya untuk naik mimbar.
“Saya kira maksudnya untuk memperkenalkan Fatmawati kepada rakyat. Ternyata tidak,” kata Rosihan Anwar, wartawan Merdeka yang ikut dalam rombongan, yang dituliskan dalam “Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi”.
Setelah Fatmawati naik ke mimbar dengan mengenakan kerudung putih, dia justeru melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu di depan corong mikrofon. “Ia mengaji di luar kepala, tetapi tiada satu kali pun dia terantuk-antuk. Ia mengaji memuji-muji kebesaran Allah subhanahu wa Ta’ala di alam terbuka,” kata Rosihan.
Sontak semua yang hadir terdiam membisu. “Saya memandang kepada Fatmawati yang mengaji dengan bening. Saya memandang kepada rakyat yang menundukkan kepala dengan hening. Rapat raksasa menjadi terpekur terdiam,” kenang Rosihan.
Fatmawati, yang lahir 5 Februari 1923 itu, ibu negara pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden Soekarno.
Ia meninggal dunia pada 14 Mei 1980 di Malaysia sepulang perjalanan umrah dari Arab Saudi dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)