Oleh: Edi Setiadi – Rektor Unisba
RUANGPOLITIK.COM —Dalam dua minggu terakhir, masyarakat disibukkan dengan berita soal pesantren Al Zaytun, khususnya tentang pernyataan dan keterangan dari pimpinannya yaitu Panji Gumilang. Berbagai praktik ibadah di lingkungan pesantren tersebut dan pernyataan Panji Gumilang dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah perbuatan menyimpang dari ajaran agama Islam sekaligus dianggap sebagai menista agama.
Di dalam KUHP (WvS) Undang-undang Nomor 1 tahun 1946, tidak ada bab khusus mengenai delik agama. Walaupun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai: pertama, delik menurut agama; kedua delik terhadap agama; dan ketiga delik yang berhubungan dengan agama. Misalnya, kategori pertama yaitu delik agama dalam KUHP banyak tersebar dalam pasal-pasalnya seperti misalnya pencurian, pembunuhan, fitnah, delik susila, dsb. Pendek kata, delik yang berhubungan dengan perbuatan dosa.
Delik terhadap agama dapat kita lihat dalam pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama) serta sebagian sarjana memasukan delik pasal 156-157 (penghinaan terhadap golongan /penganut agama). Sedangkan delik yang berhubungan dengan agama dapat kita lihat dalam pasal 175-181 KUHP.
Kebebasan
Negara tentu menjamin setiap warga negara untuk menganut keyakinan masing- masing tentang agamanya. Dan negara tidak boleh ikut campur atau masuk ke dalam keyakinan warga negaranya, soal keyakinan adalah bagian asasi dari manusia dan tidak boleh siapapun mencampurinya, beragama adalah masalah privat dari warga negara. Kewajiban negara adalah menjamin bahwa tidak boleh ada gangguan dari pihak manapun mengganggu atau sikap intoleransi terhadap penganut agama lain, baik dari kalangan mayoritas atau minoritas. Negara harus menjamin adanya kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Jaminan kebebasan beragama yang diberikan pemerintah tentu saja semua pihak harus dapat mengimplementasikannya, Tidak dibenarkan salah satu pihak baik dari pemeluk agama lain maupun pemeluk agama itu sendiri melakukan tindakan, ucapan, atau perbuatan yang menyimpang dari spirit keagamaan dengan menyinggung intisari dari ajaran agama itu sendiri yaitu adanya Tuhan, Nabi, dan kitab suci.
Sebuah pernyataan atau tindakan berupa penyimpangan ibadah dari fikih yang disepakati dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menista agama dan akan berujung kepada perbuatan melawan hukum menurut hukum positif dalam hal ini hukum pidana/KUHP sebagai perbuatan penodaan atau terhadap agama.
Pasal 156a KUHP Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 dengan tegas menyebutkan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di indonesia. (b) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha esa.
Pasal ini dengan tegas melarang seseorang mengeluarkan perbuatan atau ucapan yang dikategorikan menghina atau menyimpang dari inti ajaran agama misalnya dengan mengatakan tuhan itu tidak jelas, kitab suci itu,karangan manusia, mengaku dirinya nabi, tetapi tidak termasuk penodaan agama, perbuatan-perbuatan atau ucapan yang menyinggung simbol-simbol keagamaan yang verbal
KUHP baru
Dalam KUHP baru ketentuan tentang apa yang disebut delik agama tercantum dalam bab VII Buku II dengan title Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan. Dimulai dari pasal 300-305. Terlepas dari perdebatan bahwa asal usul ketentuan ini merupakan hasil kompromi, keberadaan pasal-pasal tentang delik agama dalam KUHP baru menunjukan bahwa pemerintah masih mempunyai tanggung jawab tentang jalannya kehidupan keagamaan, dan menganggap bahwa kerukunan beragama adalah masuk ranah publik sehingga negara berkewajiban turut mengaturnya dalam KUHP.
KUHP baru pada pasal 300 intinya mengatur juga tentang larangan perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau menghasut untuk melakukan atau diskriminasi, kekerasan terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan dan mengancam dengan pidana penjara selama 3 tahun.
Pasal 301, larangan menyiarkan, mempertunjukan, memperlihatkan tulisan atau gambar atau menyebarluaskan perbuatan sebagaimana disebut dalam pasal 300, mengajak orang tidak menganut agama yang diakui di Indonesia dan memaksa dengan kekerasan setiap orang untuk tidak beragama (pasal 302).
Kemudian ada juga pasal 303-305 yang mengatur tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama atau kepercayaan dan sarana ibadah yang mengatur larangan membuat gaduh di tempat ibadah, mengganggu atau merintangi orang pertemuan keagamaan, dengan kekerasan mengganggu, membubarkan orang yang sedang beribadah atau upacara agama, melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang ibadah atau upacara keagamaan, kemudian menodai bangunan tempat ibadah atau benda yang dipakai ibadah dan perbuatan melawan hukum membakar bangunan tempat ibadah. Dengan demikian ternyata KUHP baru tidak mengatur tentang penodaan/penistaan terhadap ajaran agama baik dengan ucapan maupun perbuatan, padahal perbuatan seperti ini yang sering terjadi.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol