Saat sekarang, kata dia, banyak caleg yang merasa cemas dengan kemungkinan adanya perubahan aturan main. Bahkan, beberapa caleg yang dikenalnya menyatakan akan mundur dari pencalonan apabila sistem pemilu berubah menjadi tertutup.
RUANGPOLITIK.COM —Mahkamah Konstitusi akan mengucapkan putusannya atas uji materiil tentang sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup pada Kamis, 15 Juni 2023, pukul 09.30 WIB, di Gedung MKRI Jakarta.
Putusan ini menyedot perhatian masyarakat dan partai politik, khususnya para calon anggota legislatif, yang mengharapkan perubahan tidak dilakukan di tengah proses menuju pemilu 2024 yang sudah berjalan.
Menurut pakar Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, kedua sistem baik terbuka atau tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi, berbagai bentuk perubahan sistem sebaiknya dilakukan sebagai persiapan untuk pemilu berikutnya.
“Aturan main jangan diubah di tengah-tengah. Kalau sekarang mau diubah, jadi aneh menurut saya. Kalau pun mau, perubahannya untuk persiapan nanti saja, untuk pemilu yang akan datang. Sekarang, kita ikuti yang sudah disepakati dulu dengan sistem terbuka,” katanya di Bandung, Selasa, 13 Juni 2023.
Saat sekarang, kata dia, banyak caleg yang merasa cemas dengan kemungkinan adanya perubahan aturan main. Bahkan, beberapa caleg yang dikenalnya menyatakan akan mundur dari pencalonan apabila sistem pemilu berubah menjadi tertutup.
Alasannya antara lain karena caleg, apalagi petahana, sudah membina hubungan dengan konstituennya sejak lama. Sementara, sistem proporsional tertutup mengatur masyarakat pemilih untuk memilih partai sehingga anggota legislatif yang terpilih merupakan kewenangan parpol.
“Ketika pilihannya terbuka atau tertutup, ya dua-duanya punya potensi untuk mengantarkan kondisi yang lebih baik. Kalau wacana hybrid, enggak lah kalau menurut saya, itu juga akan mengubah banyak aturan main,” ujarnya.
Rakyat tidak bisa berdaulat penuh
Menurut caleg DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mochtar Mohamad, para caleg berharap supaya pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu itu dikatakannya lebih adil untuk semua pihak.
“(Sistem proporsional terbuka) itu memberikan kesempatan buat orang yang kerja serius,” kata Mochtar yang maju dari daerah pemilihan Jabar V untuk wilayah Kabupaten Bogor.
Sementara, caleg DPRD Jabar dari Partai Nasional Demokrat, Firman Rachmat, mengatakan, ia pun sepakat dengan sistem proporsional terbuka. Sistem yang tertutup membuat rakyat sebagai pemilik suara tidak bisa berdaulat penuh untuk memilih langsung calon wakilnya di legislatif. Suara rakyat “diserahkan” ke partai dan partai lah yang “menentukan” legislator. Bukan rakyat yang memberi mandat langsung.
“Jika kembali ke sistem tertutup, akan banyak bacaleg yang mempertimbangkan kembali keikutsertaannya dalam Pileg 2024. Sistem tertutup mengembalikan ‘kedaulatan dan kekuasaan partai’ dalam penentuan siapa calon legislator yang akan didudukkan di lembaga legislatif,” ujar Firman yang maju dari dapil I Jabar yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi itu.
Ia mengatakan, sistem pemilu terbuka memang belum sempurna. Tetapi, jauh lebih baik dari sistem tertutup. Kedaulatan politik rakyat dalam memilih wakilnya lebih terjamin.
“Jika masih ada kekurangan dalam sistem terbuka, perbaiki, sempurnakan. Bukan menganulir dan mengubahnya kembali ke sistem tertutup. Melihat respons publik dan sikap mayoritas partai politik yang menolak sistem tertutup, saya berharap majelis hakim MK mengedepankan sikap kenegarawanan untuk memperkuat konsolidasi dan menyelamatkan demokrasi Indonesia,” ujar caleg yang akrab disapa Noe Firman itu.
Kelebihan dan kekurangan kedua sistem
Mudiyati menuturkan, setiap sistem itu memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan, keduanya pun memiliki potensi untuk mengantarkan proses pemilu yg demokratis. Hanya, hal itu bisa dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu untuk mengatasi kekurangannya.
Sistem proporsional terbuka, kata dia, memiliki kekurangan dari segi menjamurnya politik uang. Para caleg pun akhirnya berlomba meraih suara dengan biaya kampanye yang mahal. Kader parpol bertahun-tahun pun akhirnya kalah suara dengan caleg yang baru mencalonkan ataupun selebriti yang terjun ke politik karena bermodal besar.
Selain itu, setiap parpol diwajibkan untuk memenuhi kuota caleg perempuan sebanyak 30%. Itu pun cukup berat karena tidak semua parpol memiliki sumber daya manusia yang memadai. Akhirnya, demi sekadar memenuhi 30% kuota caleg perempuan, parpol menarik siapapun supaya mereka lolos jadi peserta pemilu.
“Tidak semua kandidat caleg perempuan itu yang punya keuangan yang sama. Saya berkomunikasi dengan beberapa caleg perempuan, mereka pun mau kampanye tidak punya cukup modal. Jadi memang masih ada ketidaksetaraan dalam pemilu terbuka,” ucapnya.
Akan tetapi, ia menambahkan, sistem proporsional terbuka juga memiliki kelebihan. Masyarakat pemilih bisa menentukan kandidat calegnya langsung. Hal itu berdampak baik dengan meningkatkan partisipasi pemilu yang cukup tinggi.
“Karena memilih langsung orangnya, suara terbanyak yang menentukan. Siapapun bisa punya kesempatan untuk dipilih langsung oleh rakyat,” ucap Mudi.
Sementara, sistem proporsional tertutup memiliki kelemahan karena masyarakat tidak tahu dan tidak berhubungan langsung dengan caleg yang akan menjabat nantinya. Pemilih hanya memilih parpol, sehingga pimpinan parpol punya peran besar untuk pemilihan di internal.
Sistem proporsional tertutup itu bisa bagus andaikan proses pengkaderan di internal parpol bagus dan pimpinan parpol objektif untuk mendahulukan kader potensial. Apalagi untuk kader-kader yang sudah merintis dari bawah sekian tahun dan setia ke parpolnya.
Karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, Mudi mengatakan bahwa keduanya memiliki potensi untuk proses pemilu demokratis. Namun, sistem apapun yang akan digunakan, harus ada perbaikan untuk mengatasi kelemahannya.
Pembahasan mengenai sistem pemilu itu ramai kembali sejak ada pengajuan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemohonnya adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Pengajuan permohonan telah dilakukan sejak 14 November 2022. Sidang pertama untuk pemeriksaan permohonan pun dilakukan pada 23 November 2022. Sementara, sidang yang membahas tentang substansi uji materiil dimulai sejak 20 Desember 2022 di mana saat itu dimulai dengan mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait yaitu KPU.
Proses sidang berlangsung cukup lama dan berkali-kali. Sidang terakhir digelar pada 23 Mei 2023. Pernyataan parpol yang sudah menjadi fraksi di DPR pun menyepakati untuk tetap menjalani sistem proporsional terbuka.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)