Hal ini tidak terlepas dari gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia
RUANGPOLITIK.COM —Indonesia mulai memperingati hari buruh 1 Mei atau May Day sejak abad ke-20. Namun perayaannya tidak semeriah setelah era reformasi.
Sementara itu, di masa Soeharto atau orde baru, hari buruh tak diperingati dan tak lagi menjadi hari libur.
Hal ini tidak terlepas dari gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.
Aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis.
Dilansir Tirto, di era orde baru mencoba menghapus istilah buruh dengan karyawan.
Menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009:370) Letnan Jenderal Soeharto mengeluarkan pernyataan, “Rakyat Indonesia tidak tahu mengenai kelas, dan perjuangan kelompok pekerja bukanlah perjuangan kelas.”
Pada 1977, hari buruh Indonesia hendak diresmikan pada 20 Februari.
Ketika Menteri Tenaga Kerja dijabat oleh Subroto, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) didirikan pada 20 Februari 1973 dan dihadiri oleh presiden daripada Soeharto.
Dalam sambutannya, Soeharto menekankan bahwa FBSI merupakan kebangkitan baru daripada buruh di Indonesia.
“Saya setuju sepenuhnya usul dari FBSI untuk menjadikan tanggal 20 Februari sebagai Hari Buruh Indonesia,” ujar Soeharto dalam Suara Karya (21/02/1977) dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Buku IV 1976-1978 (2008).
Masa orde baru pulalah terjadi tragedi Marsinah. Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari.
Jasadnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan, Nganjuk dalam keadaan luka berat.
Beberapa hari sebelum Marsinah ditemukan dibunuh, dia terlibat dalam mogok kerja yang dilakukan para buruh. Mogok kerja itu menuntut kenaikan buruh sesuai Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992.
Beberapa orang yang melakukan mogok kerja dipanggil oleh Kantor Koramil 0816/04 Porong. Setelah tanggal 5 Mei 1993, Marsinah tidak pernah terlihat lagi setelah dia mengunjungi Kodim untuk menanyakan kondisi teman-temannya yang ditangkap.
Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tidak bernyawa di sebuah gubuk di Desa Jagong, Nganjuk. Setelah itu, jenazahnya divisum oleh Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.
Dari hasil visum menunjukan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut.
Dari hasil penyelidikan, polisi menangkap 10 orang yang dianggap bertanggungjawab dalam pembunuhan Marsinah.
Orang-orang yang ditangkap itu merupakan para pegawai PT CPS tempat Marsinah bekerja. Mereka yang ditangkap yaitu satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya sebelum akhirnya dilimpahkan ke ke Polda Jatim.
Dalam proses persidangan para tersangka terdapat banyak kejanggalan sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa mereka hanya dikambinghitamkan.
Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hingga saat ini, siapa pembunuh Marsinah belum terungkap.
Ketika masuk era reformasi, hari buruh di Indonesia baru diperingati secara besar-besaran yang diidentik dengan aksi demontrasi.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)