RUANGPOLITIK.COM — Rumor adanya aliran uang triliunan rupiah seperti yang dihembuskan oleh Politisi Demokrat Benny K Harman menyebut bahwa isu dana besar untuk penundaan Pemilu 2024 sudah menjadi rahasia umum seakan menjadi benar.
“Semua tahu itu. Saya kan di parlemen ini kan mencium baunya, harumnya. Mendengar ada, kebisingan ya kan. Seperti itu,” kata Benny di Kompleks Parlemen, Rabu (15/2/2023).
Bagaimana tidak? jika pada hari ini dalam laporan resminya Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana sudah menyerahkan laporan hasil analisis terkait aliran uang hingga triliunan rupiah hasil korupsi dan sumber ilegal lain menjadi sumber pembiayaan di Pemilu 2024 kepada aparat penegak hukum.
Ivan menyebut ada sebanyak 21 laporan terkait aliran dana besar hasil transaksi ilegal untuk modal pemilu yang telah diserahkan kepada aparat penegak hukum. Menurutnya, uang tersebut berasal dari berbagai tindak pidana.
“Dari beberapa jenis tindak pidana. Ada potensi dipakai untuk pembiayaan kontestasi politik,” ujarnya, Jumat (17/2/2023)
Menanggapi aliran uang yang sangat deras ini dan disinyalir sebagai bagian dari ‘skenario penundaan’ atau ‘pembiayaan pemilu’ menurut Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah saat dihubungi RuPol, Jumat (17/2/2023) mengatakan jika ada indikasi terjadinya pelemahan pelaksanaan Pemilu 2024.
“Jika sebatas indikasi memang nuansanya ada, semisal secara tiba-tiba ada gerakan perangkat desa berbondong ke Jakarta memuji Presiden dan meminta penambahan periode. Hal itu jelas melanggar konstitusi, sehingga bisa saja diarahkan perpanjangan masa jabatan, juga isu krisis ekonomi yang sudah mulai didengungkan, sikap pesimis ekonomi ini bisa menjadi alasan Pemilu tidak terlaksana, juga lambatnya pencairan dana Pemilu dari pemerintah. Itu semua bisa menjadi indikasi,” jelas Dedi.
Ia juga melihat dari situasi politik yang berkembang hari ini dan sikap Jokowi usai deklarasi Anies Baswedan sebagai capres. Termasuk permainan politik PDIP yang seolah adem ayem tak ambil sikap tegas siapa capres cawapres yang diusung termasuk membangun koalisi dengan parpol lain.
“Dari sisi politik, bagaimana Presiden menunjukkan gelagat gusar atas deklarasi Anies Baswedan, juga terkait santainya PDIP dalam hadapi Pemilu 2024 yang hingga hari ini masih senyap, semua itu indikasi. Jadi, jika soal indikasi tentu ada,” ungkapnya.
Sementara itu menelisik KPU dan intrik yang muncul, Dedi menganggap ini sangat memprihatinkan seolah akan membuat kepercayaan publik yang akan melemah dengan kinerja dan integritas KPU yang dianggap cukup bermasalah.
“Sulit menjamin Pemilu yang bebas kepentingan, sejak permulaan di masa verifikasi partai politik peserta Pemilu saja sudah ada kisruh, kecurigaan publik adanya komisioner KPU yang cacat integritas mengemuka. Ini bisa jadi komisioner paling cepat mendapat catatan buruk dari publik, belum berusia setahun, integritas sudah terganggu dengan kepentingan politik,” kritiknya.
Dan berbicara mengenai aliran dana triliunan rupiah untuk biaya Pemilu 2024 seperti yang diungkapkan oleh PPATK, Dedi menilai bahwa publik harusnya mendapat hak atas transparansi keuangan terutama ini menyangkut kepentingan negara dan pesta rakyat. Meski Dedi cukup pesimis jika hal ini bisa terwujud mengingat rakusnya kekuasaan dan hanya akan menjadi bola panas politik yang akan mengiring kepada konflik.
“Bisa, tetapi kekuasaan akan menghalangi publik untuk tahu, kita sedang menghadapi kebebalan penguasa, lebih banyak suara publik akan dihadapi oleh publik pro penguasa. Kita seolah terombang ambing dalam adu domba sesama warga negara dan negara tidak pernah hadir melerai, justru mengakomodasi konflik. Mestinya tanpa ada desakan publik, transparansi itu inisiatif pemerintah,” tegasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)